KATA PENGANTAR
Bismilllahirahmanirahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas Agama Islam ini.
Terimakasih tidak lupa saya haturkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Semoga Allah SWT meridoi segala usaha kita. Amin
Wassalamualaiku Warahmatullahi Wabarakatuh
Dari Abu Musa Al-Asy`arit berkata, Rasulullah bersabda: "Perumpamaan
orang mukmin yang membaca Al Qur`an bagaikan buah limau baunya harum dan
rasanya lezat. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al
Qur`an bagaikan kurma, rasanya lezat dan tidak berbau. Dan perumpamaan
orang munafik yang membaca Al Qur`an bagaikan buah raihanah yang baunya
harum dan rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak
membaca Al Qur`an bagaikan buah hanzholah tidak berbau dan rasanya
pahit." Muttafaqun `Alaihi.
Merupakan suatu kewajiban bagi
seorang muslim untuk selalu berinteraksi aktif dengan Al Qur`an, dan
menjadikannya sebagai sumber inspirasi, berpikir dan bertindak. Membaca
Al Qur`an merupakan langkah pertama dalam berinteraksi dengannya, dan
untuk mengairahkan serta menghidupkan kembali kegairahan kita dalam
membaca Al Qur`an, kami sampaikan beberapa keutamaan membaca Al Qur`an
sebagai berikut :
1. Manusia yang terbaik.
Dari `Utsman bin
`Affan, dari Nabi bersabda : "Sebaik-baik kalian yaitu orang yang
mempelajari Al Qur`an dan mengajarkannya." H.R. Bukhari.
2. Dikumpulkan bersama para Malaikat.
Dari
`Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, Rasulullah bersabda : "Orang yang
membaca Al Qur`an dan ia mahir dalam membacanya maka ia akan dikumpulkan
bersama para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan orang yang
membaca Al Qur`an dan ia masih terbata-bata dan merasa berat (belum
fasih) dalam membacanya, maka ia akan mendapat dua ganjaran." Muttafaqun
`Alaihi.
3. Sebagai syafa`at di Hari Kiamat.
Dari Abu Umamah
Al Bahili t berkata, saya telah mendengar Rasulullah bersabda : "Bacalah
Al Qur`an !, maka sesungguhnya ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai
syafaat bagi ahlinya (yaitu orang yang membaca, mempelajari dan
mengamalkannya)." H.R. Muslim.
4. Kenikmatan tiada tara
Dari
Ibnu `Umar t, dari Nabi bersabda : "Tidak boleh seorang menginginkan apa
yang dimiliki orang lain kecuali dalam dua hal; (Pertama) seorang yang
diberi oleh Allah kepandaian tentang Al Qur`an maka dia
mengimplementasikan (melaksanakan)nya sepanjang hari dan malam. Dan
seorang yang diberi oleh Allah kekayaan harta maka dia infakkan
sepanjang hari dan malam." Muttafaqun `Alaihi.
5. Ladang pahala.
Dari
Abdullah bin Mas`ud t berkata, Rasulullah e : "Barangsiapa yang membaca
satu huruf dari Kitabullah (Al Qur`an) maka baginya satu kebaikan. Dan
satu kebaikan akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya
tidak mengatakan "Alif lam mim" itu satu huruf, tetapi "Alif" itu satu
huruf, "Lam" itu satu huruf dan "Mim" itu satu huruf." H.R. At Tirmidzi
dan berkata : "Hadits hasan shahih".
6. Kedua orang tuanya mendapatkan mahkota surga
Dari
Muadz bin Anas t, bahwa Rasulullah e bersabda : "Barangsiapa yang
membaca Al Qur`an dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya, Allah
akan mengenakan mahkota kepada kedua orangtuanya pada Hari Kiamat kelak.
(Dimana) cahayanya lebih terang dari pada cahaya matahari di dunia.
Maka kamu tidak akan menduga bahwa ganjaran itu disebabkan dengan amalan
yang seperti ini. " H.R. Abu Daud.
KEMBALI KEPADA AL QUR`AN
Bukti
empirik di lapangan terlihat dengan sangat jelas bahwa kaum muslimin
pada saat ini telah jauh dari Al Qur`an Al Karim yang merupakan
petunjuknya dalam mengarungi bahtera kehidupannya (The Way of Life).
Firman Allah I :
Berkatalah Rasul:"Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur'an ini sesuatu yang tidak diacuhkan". (QS. 25:30)
Dan
mereka (para musuh Islam) berusaha keras untuk menjauhkan kaum muslimin
secara personal maupun kelompok dari sumber utama kekuatannya yaitu Al
Qur`an Al Karim. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Al Qur`an Al
Karim mengenai target rahasia mereka dalam memerangi kaum muslimin dalam
firman-Nya :
Dan orang-orang yang kafir berkata:"Janganlah kamu
mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan buatlah
hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka). (QS.
41:26)
Jal Daston selaku perdana menteri Inggris mengemukakan :
"Selagi Al Qur`an masih di tangan umat Islam, Eropa tidak akan dapat
mengusai negara-negara Timur." (Lihat buku "Rencana Penghapusan Islam
dan Pembantaian Kaum Muslimin di Abad Modern" oleh Nabil Bin Abdurrahman
Al Mahisy / 13).
Jauhnya umat terhadap Al Qur`an Al Karim merupakan
suatu masalah besar yang sangat fundamental dalam tubuh kaum muslimin.
Perkara untuk mempedomi petunjuk Allah I melalui kitab-Nya, bukan
sekedar perbuatan sunnah atau suatu pilihan. Firman Allah I :
Dan
tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata. (QS. 33:36)
Tegasnya,
menjadikan kitab Allah Subhanahu wa Ta`ala sebagai sumber petunjuk
satu-satunya dalam kehidupan dan mengembalikan segala masalah hanya
kepada-Nya merupakan suatu keharusan oleh setiap diri kita. Kita
sama-sama bersepakat bahwa dalam menanggulangi masalah kerusakan sebuah
pesawat terbang, kita harus memanggil seorang insinyur yang membuat
pesawat itu, dan kita sama-sama bersepakat bahwa seorang pilot yang akan
mengoperasionalkan suatu pesawat terbang harus mengikuti buku petunjuk
oprasional pesawat yang dikeluarkan dari perusahaan yang memproduksinya.
Tetapi mengapa kita tidak mau menerapkan prinsip ini dalam diri kita
sendiri. Allah I lah yang menciptakan kita dan hanya petunjuk-Nya yang
benar. Sedang kita mengetahui bahwa pegangan yang mantap dan pengarahan
yang benar hanyalah :
Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)". (QS. 2:120)
Ringkas
dan tegas. Petunjuk Allah I itulah petunjuk. Selain dari itu bukan
petunjuk. Tidak bertele-tele, tidak ada helah, tidak dapat ditukar.
Rasulullah e bersabda :
"Sesungguhnya Allah mengangkat beberapa kaum
dengan Kitab (Al Qur`an) ini dan menghinakan yang lain dengannya pula."
H.R. Muslim.
Karena itu jangan sampai kita mengikuti hawa nafsu mereka yang menyimpang dari garis yang tegas ini :
Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan
datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong
bagimu. (QS. 2:120)
Ringkasnya, ketika umat Islam telah jauh dari
Kitabullah, maka musibah dan malapetaka serta segala jenis penyakit
hati akan datang silih berganti, sebagaimana yang saat ini kita lihat
sendiri secara kasat mata.
Kita berdoa kepada Allah I, semoga Dia
I mengerakkan hati dan memudahkan langkah kita dan umat Islam lainnya
untuk kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Nabinya e sehingga menjadi
umat yang terbaik sebagaimana firman-Nya I :
Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. 3:110)
Citi-Ciri Wanita Shalihah
Tidak banyak syarat yang dikenakan oleh Islam untuk seseorang wanita
untuk menerima gelar solehah, dan seterusnya menerima pahala syurga yang
penuh kenikmatan dari Allah swt. Mereka hanya perlu memenuhi 2 syarat
saja yaitu :
Taat kepada Allah dan RasulNya
Taat kepada suami
Perincian dari dua syarat di atas adalah sebagai berikut :
Taat kepada Allah dan RasulNya
Bagaimana yang dikatakan taat kepada Allah swt?
Mencintai Allah swt dan Rasulullah saw melebihi dari segala-galanya.
Wajib menutup aurat
Tidak berhias dan berperangai seperti wanita jahiliah
Tidak bermusafir atau bersama dengan lelaki dewasa kecuali ada bersamanya mahramnya.
Sering membantu lelaki dalam perkara kebenaran, kebajikan dan taqwa
Berbuat baik kepada ibu & bapa
Sentiasa bersedekah baik dalam keadaan susah ataupun senang
Tidak berkhalwat dengan lelaki dewasa
Bersikap baik terhadap tetangga
Taat kepada suami
Memelihara kewajiban terhadap suami
Sentiasa menyenangkan suami
Menjaga kehormatan diri dan harta suaminya selama suami tiada di rumah.
Tidak cemberut di hadapan suami.
Tidak menolak ajakan suami untuk tidur
Tidak keluar tanpa izin suami.
Tidak meninggikan suara melebihi suara suami
Tidak membantah suaminya dalam kebenaran
Tidak menerima tamu yang dibenci suaminya.
Sentiasa memelihara diri, kebersihan fisik dan kecantikannya serta kebersihan rumahtangga.
Faktor Yang Merendahkan Martabat Wanita
Sebenarnya
puncak rendahnya martabat wanita adalah datang dari faktor dalam.
Bukanlah faktor luar atau yang berbentuk material sebagaimana yang
digembar-gemborkan oleh para pejuang hak-hak palsu wanita.
Faktor-faktor tersebut ialah :
1. Lupa mengingat Allah
Karena
terlalu sibuk dengan tugas dan kegiatan luar atau memelihara anak-anak,
maka tidak heran jika banyak wanita yang tidak menyadari bahwa dirinya
telah lalai dari mengingat Allah.
Dan saat kelalaian ini pada
hakikatnya merupakan saat yang paling berbahaya bagi diri mereka, di
mana syetan akan mengarahkan hawa nafsu agar memainkan peranannya.
Firman Allah swt di dalam surah al-Jathiah, ayat 23: artinya:
"Maka
sudahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya. Dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya."
Sabda Rasulullah saw: artinya:
"Tidak sempurna iman seseorang dari kamu, sehingga dia merasa cenderung kepada apa yang telah aku sampaikan." (Riwayat Tarmizi)
Mengingati Allah swt bukan saja dengan berzikir, tetapi termasuklah menghadiri majlis-majlis ilmu.
2. Mudah tertipu dengan keindahan dunia
Keindahan
dunia dan kemewahannya memang banyak menjebak wanita ke perangkapnya.
Bukan itu saja, malahan syetan dengan mudah memperalatkannya untuk
menarik kaum lelaki agar sama-sama bergelimang dengan dosa dan noda.
Tidak sedikit yang sanggup durhaka kepada Allah swt hanya kerana
kenikmatan dunia yang terlalu sedikit. Firman Allah swt di dalam surah
al-An'am: artinya :
"Dan tidaklah penghidupan dunia ini melainkan
permainan dan kelalaian dan sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertakwa, oleh karena itu tidakkah kamu berfikir."
3. Mudah terpedaya dengan syahwat
4. Lemah iman
5. Bersikap suka menunjuk-nunjuk.
Ad-dunya mata' , khoirul mata' al mar'atus sholich
Dunia adalah perhiasan, perhiasan dunia yang baik adalah Wanita sholihah.
Arti Ibadah
"Dan beribadahlah kepada Tuhanmu sampai mati mendatangimu,"(Al-Hijr:99).
"Dan tidaklah aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz-Dzariyat:56)
Allah
menciptakan kita bukan untuk sia-sia, tetapi karena tujuan mulia yaitu
untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah adalah kata yang mencakup segala hal
yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. Kita menjalankan perintah Allah
dan meninggalkan larangannya-Nya adalah ibadah. Kita berbuat kebaikan
kepada sesama muslim bahkan sesama manusia atau kepada binatang
sekalipun karena Allah adalah ibadah. Jadi Ibadah itu artinya luas bukan
hanya ibadah mahdhoh (murni) saja seperti shalat, puasa, zakat dan
haji, seperti dalam penjelasan Nabi saw bahwa cabang-cabang keimanan itu
lebih dari enam puluh atau lebih dari tujuh puluh cabang. Paling utama
adalah Lailaha illallah dan paling rendah adalah menyingkirkan duri di
jalanan. Tapi ibadah itu tidak berarti positif dunia maupun akhirat
sampai memenuhi dua kriteria:
Kriteria pertama, ibadah itu harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah.
Kriteria kedua, ibadah itu harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.
Satu syarat saja tidak diterima Allah, sampai betul memenuhi kedua persyaratan itu (lihat surat Al-Kahfi:110 dan Al-Mulk:2)
Amalan Pelebur Dosa
Tumpukan dosa yang menggumpal bukan berarti tak bisa dihapus. Beragam kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas mampu meleburnya.
Kesalahan
bisa dilakukan siapa saja. Tak terkecuali ahli ibadah sekalipun.
Karenanya, orang yang terbaik bukan mereka yang tak pernah terjerembab
dalam kekeliruan. Tapi, mereka yang selalu menyadari kesalahannya, lalu
bertaubat. Dan tidak menunda walau sedetik pun.
“Langsung
bertaubat dari dosa merupakan keharusan yang tak bisa ditunda-tunda.
Jika taubat ditunda, ia akan memunculkan durhaka lain akibat penundaan
itu,” kata Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Begitu pentingnya
taubat karena ia adalah gerbang segala ampunan. Ia adalah wujud
pengakuan hamba atas dosanya, dan jembatan pengakuan Allah bagi
ampunan-Nya. Taubatlah yang menjadi kunci kebaikan untuk menghapus dosa
kesalahan seorang hamba. Allah berfirman, “…Kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka
diganti dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang,” (QS Furqan: 70).
Setelah gerbang ampunan
terbuka, ibadah berikutnya yang bisa melebur dosa adalah sedekah, baik
yang dilakukan dengan terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
Allah berfirman, “Jika kamu menampakkan
sedekah(mu) maka itu
adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan
kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kamu.
Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu,
dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS
al-Baqarah: 271).
Rasulullah
saw bersabda, “…sedekah itu mematikan (melebur) kesalahan dan takwa itu
membunuh kesalahan seperti air memadamkan api,” (HR Thabrani).
Sedekah
berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka
bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut
terminologi syariah, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak,
baik hukum maupun ketentuan-ketentuan umum lainnya. Hanya saja, jika
infak cenderung berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih
luas, menyangkut juga hal yang bersifat non-materi. Hadits riwayat Imam
Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah saw menyatakan bahwa jika tidak mampu
bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid,
tahlil, berhubungan suami-istri, atau melakukan kegiatan amar ma’ruf
nahi mungkar juga sedekah. Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan
Muslim, Rasulullah saw menyebutkan bahwa tersenyum kepada saudara yang
lain, itu sedekah.
Lebih luas lagi, kata sedekah yang
terdapat dalam al-Qur’an, sebagian dimaksudkan zakat (QS at-Taubah: 60
dan 103). Hanya saja, walaupun seseorang telah berzakat tetapi masih
memiliki kelebihan harta, ia sangat dianjurkan untuk berinfak dan
bersedekah. Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (QS
al-Baqarah: 3), ciri Mukmin yang sungguh-sungguh imannya (QS al-Anfal:
3-4), ciri Mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (QS Faathir: 29).
Berinfak akan melipatgandakan pahala di sisi Allah SWT (QS al-Baqarah:
262).
Sebaliknya, tidak mau berinfak sama dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan (QS al-Baqarah: 195).
Di
antara keutamaan zakat adalah, termasuk indikator tingginya keimanan
seseorang, mengundang pertolongan dan rahmat Allah SWT (QS al-Hajj:
40-41
dan QS at-Taubah: 71), membersihkan harta (QS at-Taubah: 103),
mengembangkan harta (QS ar-Ruum: 39), dan mendistribusikan harta
sehingga lenyap jurang antara kaya dan miskin (QS al-Hasyr: 7).
Ibadah
lainnya yang masih berkaitan langsung dengan harta dan pahalanya mampu
melebur dosa adalah jihad. Jihad di jalan Allah yang dilakukan dengan
ikhlas bisa melebur dosa. Baik yang dilakukan dengan harta maupun jiwa.
Allah berfirman, “…(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik
bagi kamu jika kamu mengetahui, niscaya Allah akan mengampuni
dosa-dosamu dan memasukkan ke dalam surga…” (QS ash-Shaff: 11-12).
Karenanya,
para sahabat Rasulullah saw selalu berlomba menyambut seruan jihad.
Kendati mereka sudah menginfakkan harta, tapi itu tak membuat mereka
puas untuk tidak ikut berjuang di jalan Allah. Bagi mereka, syahid di
jalan Allah adalah kunci utama untuk mendapatkan ampunan Allah. Dari Abu
Hurairah Rasulullah saw bersabda, “Orang yang mati syahid akan diampuni
dosanya pada percikan darah yang pertama, dan akan dikawinkan dengan
dua bidadari dan akan memberi syafaat tujuh puluh dari anggota
keluarganya…,” (HR Thabrani).
Untuk itu, niat berjihad harus selalu ada dalam benak kaum Muslimin.
Namun,
bagi mereka yang tidak sempat berjihad bukan berarti pintu melebur dosa
tertutup. Ibadah sehari-hari yang kita lakukan dengan ikhlas dan sesuai
tuntutan Rasulullah saw, juga bisa menghapus dosa.
Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, maka
dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni. Sedangkan shalatnya, jalannya
menuju masjid adalah amalan tambahan,” (HR Muslim dan Nasai).
Dalam
hadits yang diriwayatkan Thabrani dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya,
Abdullah bin Umar berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa
yang pergi ke masjid (untuk shalat) berjamaah, maka satu langkah bisa
menghapus kesalahannya, dan satu langkah (yang lain) ditulis sebagai
kebaikan (untuknya) selama pergi dan pulang.”
Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya. Shalat merupakan kaffarah
(penebus)
atas dosa dan kesalahan seorang hamba. Perumpamaan orang yang melakukan
shalat lima waktu sehari semalam ibarat orang yang di depan rumahnya
mengalir sungai dan ia mandi lima kali sehari. Tak akan ada kotoran yang
tersisa. “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu. Dengan shalat itu
Allah akan melebur kesalahan-kesalahan (hamba-Nya),” ujar Rasulullah saw
seperti diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits
lain yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi bahwa Rasulullah saw
menegaskan, “Shalat lima waktu, shalat Jum’at menuju Jum’at berikutnya
adalah pelebur dosa di antara mereka, selama dosa-dosa besar tidak
dilanggar.”
Ibadah puasa yang dilakukan dengan penuh
keimanan dan hanya mengharap ridha Allah, bisa melebur dosa.
“Barangsiapa puasa Ramadhan dengan iman dan ikhlas (mencari pahala
karena Allah) maka diampunilah dosanya yang sudah lewat,” (HR Bukhari
Muslim).
Apalagi jika puasa Ramadhan diikuti dengan
puasa Syawal enam hari setelahnya. “Barangsiapa yang puasa Ramadhan dan
mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia akan
keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan ibunya,”
demikian sabda Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan Thabrani dalam
Mu’jam al-Ausath-nya.
Puasa ayyamul bidh (tiga hari
setiap pertengahan bulan hijriyah) juga bisa menjadi pelebur dosa. Dalam
Mu’jam al-Kabir-nya Thabrani meriwayatkan, dari Maimunah binti Sa’ad
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dari setiap bulan tiga hari, barangsiapa
yang mampu melaksanakannya maka (pahala) setiap harinya bisa melebur
sepuluh kali kesalahan dan dia bersih dari dosa seperti air membersihkan
pakaian.”
Kalau ibadah harian (seperti shalat), bulanan
(seperti puasa sunnah), atau tahunan (seperti puasa Ramadhan) mampu
melebur dosa, begitu juga dengan ibadah haji yang diwajibkan sekali
seumur hidup bagi yang mampu.
Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa yang melaksanakan haji, lalu tidak berbicara kotor dan
tidak fasik, dia akan kembali (diampuni) dari dosanya sebagai mana ia
dilahirkan ibunya,” (HR Bukhari Muslim).
Begitulah kesempurnaan Islam dan keutamaan umat Nabi Muhammad.
Hari-harinya penuh dengan pahala yang mampu melebur dosa kesalahannya.
Bahkan,
pelebur dosa itu kadang bukan datang dari ibadah mahdhah yang kita
lakukan. Musibah yang dihadapi dengan tabah dan sabar juga mampu
mendatangkan ampunan Allah. “Tidaklah menimpa seorang Mukmin suatu
kepayahan dan tidak pula penyakit yang langgeng, tidak pula duka cita,
dan tidak pula kesusahan, tidak pula penyakit dan tidak pula kesedihan
sampai duri yang mengenai dirinya kecuali Allah akan mengampuni
kesalahannya dengan musibah itu,” (HR Bukhari Muslim).
Muamalah
sesama manusia yang dilakukan dengan akhlak yang baik juga mampu
mengikis tumpukan dosa. “Akhlak yang baik bisa menghancurkan
kesalahan-kesalahan sebagaimana matahari mencairkan es,” (HR Thabrani
dan Baihaqi). Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Tirmidzi, Nabi
kembali menegaskan, “Tak ada dua orang Islam yang saling bertemu, lalu
keduanya saling berjabat tangan kecuali Allah akan mengampuni keduanya
sebelum berpisah.”
Subhanallah. Betapa mulia Islam. Tak
ada tindakan umatnya yang sia-sia jika dilakukan sesuai tuntunan
Rasulullah saw. Desah napas kebaikan yang kita hembuskan semua bernilai
pahala. Ibadah-ibadah ringan yang selama ini sering kita anggap remeh
nyatanya mampu menjadi godam palu yang bisa melebur bongkahan dosa.
BAHAYA VALENTINE
Memasuki bulan Februari, kita menyaksikan banyak media massa, mal-mal,
pusat-pusat hiburan bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja
dengan menggelar acara-acara pesta perayaan yang tak jarang berlangsung
hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut
bermuara pada satu hal yaitu Valentine's Day atau biasanya disebut hari
kasih sayang. Biasanya pada 14 Februari mereka saling mengucapkan
"selamat hari Valentine", berkirim kartu dan bunga, saling bertukar
pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta.
Sangat
disayangkan banyak ABG khususnya teman-teman kita, para remaja putri
muslimah yang terkena penyakit ikut-ikutan dan mengekor budaya Barat
atau budaya ritual agama lain akibat pengaruh TV dan media massa
lainnya. Termasuk dalam hal ini perayaan Hari Valentine, yang pada
dasarnya adalah mengenang kembali pendeta St.Valentine. Belakangan,
Virus Valentine tidak hanya menyerang remaja bahkan orang tua pun turut
larut dalam perayaan yang bersumber dari budaya Barat ini.
Sejarah Valentine
Ensiklopedia
Katolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine, tetapi versi terkenal
adalah kisah Pendeta St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di
zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius
II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa
perintahnya.
Claudius II melihat St.Valentine meng-ajak manusia
kepada agama Nashrani lalu dia memerintahkan untuk menangkapnya. Dalam
versi kedua , Claudius II meman-dang para bujangan lebih tabah dalam
berperang daripada mereka yang telah menikah yang sejak semula menolak
untuk pergi berperang. Maka dia mengeluarkan perintah yang melarang
pernikahan. Tetapi St.Valentine menentang perintah ini dan terus
mengada-kan pernikahan di gereja dengan sembunyi-sembunyi sampai
akhirnya diketahui lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan
dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia
mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum
mati, dia mengirim sebuah kartu yang bertuliskan "Dari yang tulus
cintanya, Valentine." Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk
agama Nashrani ber-sama 46 kerabatnya.
Versi ketiga menyebutkan
ketika agama Nashrani tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat
sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi
itu para pemuda desa selalu berkum-pul setiap pertengahan bulan
Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam
sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak
tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya
sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan "
dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini."
Akibat
sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan
mengganti kalimat "dengan nama tuhan Ibu" dengan kalimat " dengan nama
Pendeta Valentine" sehingga dapat mengikat para pemuda tersebut dengan
agama Nashrani.
Versi lain mengatakan St.Valentine di-tanya tentang
Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter,
tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan
tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah
Isa Al Masih, oleh karenanya ia dihukum mati. Maha Tinggi Allah dari apa
yang dikatakan oleh orang-orang yang dzalim tersebut.
Bahkan saat
ini beredar kartu-kartu perayaan keagamaan ini dengan gambar anak kecil
dengan dua sayap terbang mengitari gambar hati sambil mengarahkan anak
panah ke arah hati yang sebenarnya itu merupakan lambang tuhan cinta
bagi orang-orang Romawi!!!
Hukum Valentine
Keinginan untuk
ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut
menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan
kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam
perkara akidah, ibadah, syi'ar dan kebiasaan. Padahal Rasul Shallallaahu
'alaihi wa sallam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan
selain Islam: "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari
kaum tersebut ." (HR. At-Tirmidzi).
Bila dalam merayakannya
bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi
bahwa ia telah kafir, adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia
telah melakukan suatu ke-mungkaran yang besar. Ibnul Qayyim berkata,
"Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka,
telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat
atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, "Selamat hari
raya!" dan semisalnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai
pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia
telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutu-kan Allah.
Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih
dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau
membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu
perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang
yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid'ah
atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan
dan kemurkaan Allah."
Abu Waqid Radhiallaahu 'anhu meriwayatkan:
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam saat keluar menuju perang
Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang
disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan
senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata, "Wahai Rasulullah, buatkan untuk
kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath." Maka
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Maha Suci Allah,
ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, 'Buatkan untuk kami tuhan
sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.' Demi Dzat yang jiwaku di
tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada
sebelum kalian." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).
Adalah
wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk
melaksanakan wala' dan bara' ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas
diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh
para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu'min dan membenci
orang-orang kafir serta menyelisihi mereka dalam ibadah dan perilaku.
Serta mengetahui bahwa sikap seperti ini di dalamnya terdapat
kemas-lahatan yang tidak terhingga, sebaliknya gaya hidup yang
menyerupai orang kafir justru mengandung kerusakan yang lebih banyak.
Lain
dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan
membuat mereka senang, lagi pula, menyerupai kaum kafir dapat melahirkan
kecintaan dan keterikatan hati. Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah
berfirman, yang artinya:
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim
." (Al-Maidah:51)
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (Al-Mujadilah: 22)
"Dan
janganlah belas kasihan kepada kedua pezina tersebut mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan
hari akherat." (An-Nur: 2)
Di antara dampak buruk menyerupai mereka
adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah
As-Sunnah (tuntunan Allah dan Rasul-Nya). Tidak ada suatu bid'ah pun
yang dihidupkan kecuali saat itu ada suatu sunnah yang ditinggalkan.
Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak
jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang
muslim dalam setiap raka'at shalatnya membaca,
"Tunjukilah kami
jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pu-la jalan) mereka yang sesat." (Al-Fatihah:6-7)
Bagaimana
bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan
orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang
sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu
dengan sukarela.
Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak
mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara
khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang
mempe-ringatinya. Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi
perayaan ini adalah dari ritual agama lain!
Hadiah yang diberikan
sebagai ung-kapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan
dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan
mengakibatkan terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.
Mengadakan
pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih
mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan
normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita
lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.
Alhamdulillah,
kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga
kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam
pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa
mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu,
demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita
lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.
Semoga
Allah senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih
sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga
yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang
yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan
orang-orang yang disebutkan:
" Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang
saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang
saling berkorban karena Aku." (Al-Hadits).
Fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin:
Pertanyaan:
Pada
akhir-akhir ini ini telah tersebar dan membudaya perayaan hari
Valentine -terutama di kalangan pelajar putri, padahal ia merupakan
salah satu dari sekian macam hari raya kaum Nashrani. Biasanya pakaian
yang dikenakan berwarna merah lengkap dengan sepatu, dan mereka saling
tukar mawar merah. Bagaimana hukum merayakan hari Valentine ini, dan apa
pula saran dan anjuran anda kepada kaum muslimin. Semoga Allah selalu
memelihara dan melindungi anda.
Jawab:
Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:
Pertama: ia merupakan hari raya bid'ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari'at Islam.
Kedua
: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan
seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih
(pendahulu kita) - semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal
melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum,
berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim
merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai
pegangan dan ikut-ikutan.
Semoga Allah melindungi kaum muslimin
dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi
dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.
KALA MUSIBAH MENIMPA
Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya,
"Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.
al-Baqarah:155-157)
Di dalam musnad Imam Ahmad, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Tidaklah
seorang hamba yang ditimpa musibah mengucapkan, "Inna lillahi wa inna
ilaihi raji'un, ya Allah berilah aku pahala dalam musibahku ini dan
gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik," kecuali Allah akan
memberikan pahala dalam musibahnya dan akan memberikan kepadanya ganti
yang lebih baik." (HR. Ahmad 3/27)
Kita Milik Allah dan Kembali Kepada-Nya
Jika
seorang hamba benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah milik Allah
subhanahu wata’ala dan akan kembali kepada-Nya maka dia akan terhibur
tatkala tertimpa musibah. Kalimat istirja' ini merupakan penyembuh dan
obat paling mujarab bagi orang yang sedang tertimpa musibah. Dia
memberikan manfaat baik dalam waktu dekat maupun di waktu yang akan
datang. Kalimat tersebut memuat dua prinsip yang sangat agung. Jika
seseorang mampu merealisasikan dan memahami keduanya maka dia akan
terhibur dalam setiap musibah yang menimpanya.
Dua prinsip pokok tersebut adalah:
Pertama;
Bahwasanya manusia, keluarga dan harta pada hakikatnya adalah milik
Allah subhanahu wata’ala. Dia bagi manusia tidak lebih hanya sebagai
pinjaman atau titipan, sehingga jika Allah subhanahu wata’ala
mengambilnya dari seseorang maka ia ibarat seorang pemilik barang yang
sedang mengambilnya dari si peminjam. Demikian juga manusia diliputi
oleh ketidakpunyaan, sebelumnya (ketika lahir) dia tidak memiliki
apa-apa dan setelahnya (ketika mati) ia pun tidak memiliki apa-apa lagi.
Dan segala sesuatu yang dimiliki oleh seorang hamba tidak lebih
hanya seperti barang pinjaman dan titipan yang bersifat sementara.
Seorang hamba juga bukanlah yang telah menjadikan dirinya memiliki
sesuatu setelah sebelumnya tidak punya. Dan diapun bukanlah menjadi
penjaga terhadap segala miliknya dari kebinasaan dan kelenyapan, dia tak
mampu untuk menjadikan miliknya tetap terus abadi. Apapun usaha seorang
hamba tidak akan mampu untuk menjadikan miliknya kekal abadi, tidak
akan mampu menjadikan dirinya sebagai pemilik hakiki.
Dan juga
seseorang itu harus membelanjakan miliknya berdasarkan perintah
pemiliknya, memperhatikan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang.
Dia membelanjakan bukan sebagai pemilik, karean Allah-lah Sang Pemilik,
maka tidak boleh baginya membelanjakan titipan itu kecuali dalam hal-hal
yang sesuai dengan kehendak Pemilik Yang Hakiki.
Ke dua; Bahwa
kesudahan dan tempat kembali seorang hamba adalah kepada Allah Pemilik
yang Haq. Dan seseorang sudah pasti akan meninggalkan dunia ini lalu
menghadap Allah subhanahu wata’ala sendiri-sendiri sebagaimana ketika
diciptakan pertama kali, tidak memiliki harta, tidak membawa keluarga
dan anak istri. Akan tetapi manusia menghadap Allah dengan membawa amal
kebaikan dan keburukan.
Jika awal mula dan kesudahan seorang
hamba adalah demikian maka bagaimana dia akan berbangga-bangga dengan
apa yang dia miliki atau berputus asa dari apa yang tidak dimilikinya.
Maka memikirkan bagaimana awal dirinya dan bagaimana kesudahannya nanti
adalah merupakan obat paling manjur untuk mengobati sakit dan kesedihan.
Demikian juga dengan mengetahui secara yakin bahwa apa yang akan
menimpanya pasti tidak akan meleset atau luput dan begitu juga
sebaliknya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Tiada
sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS.
al-Hadid:22-23)
Lihat Nikmat yang Tersisa
Termasuk salah
satu terapi dalam menghadapi musibah adalah dengan cara melihat
seberapa musibah dan seberapa besar nikmat yang telah diterima. Maka
akan didapati bahwa Allah subhanahu wata’ala masih menyisakan baginya
yang semisal dengannya, atau malah lebih baik lagi. Dan jika seseorang
bersabar dan ridha maka Allah subhanahu wata’ala akan memberikan sesuatu
yang lebih baik dan besar daripada apa yang hilang dalam musibah,
bahkan mungkin dengan berlipat-lipat ganda. Dan jika Allah subhanahu
wata’ala menghendaki maka akan menjadikan lebih dan lebih lagi dari yang
ada.
Musibah Menimpa Semua Orang
Merupakan obat yang
sangat bermanfaat di kala musibah sedang menimpa adalah dengan menyadari
bahwa musibah itu pasti dialami oleh semua orang. Cobalah dia menengok
ke kanan, maka akan didapati di sana orang yang sedang diberi ujian, dan
jika menengok ke kiri maka di sana ada orang yang sedang ditimpa
kerugian dan malapetaka. Dan seorang yang berakal kalau mau
memperhatikan sekelilingnya maka dia tidak akan mendapati kecuali di
sana pasti ada ujian hidup, entah dengan hilanganya barang atau orang
yang dicintai atau menemui sesuatu yang tidak mengenakkan dalam hidup.
Kehidupan
dunia tidak lain adalah ibarat kembangnya tidur atau bayang-bayang yang
pasti lenyap. Jika dunia mampu membuat orang tersenyum sesaat maka dia
mampu mendatangkan tangisan yang panjang. Jika ia membuat bahagia dalam
sehari maka ia pun membuat duka sepanjang tahun. Kalau hari ini
memberikan sedikit maka suatu saat akan menahan dalam waktu yang lama.
Tidaklah suatu rumah dipenuhi dengan keceriaan kecuali suatu saat akan
dipenuhi pula dengan duka.
Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu
berkata, "Pada setiap kegembiraan ada duka, dan tidak ada satu rumah pun
yang penuh dengan kebahagiaan kecuali akan dipenuhi pula dengan
kesedihan. Berkata pula Ibnu Sirin, "Tidak akan pernah ada senyum
melulu, kecuali setelahnya pasti akan ada tangisan."
Hindun
binti an an-Nu'man berkata, "Kami melihat bahwa kami adalah termasuk
orang yang paling mulia dan memiliki harta paling banyak, kemudian
matahari belum sampai terbenam sehingga kami telah menjadi orang yang
paling tidak punya apa-apa. Dan merupakan hak Allah subhanahu wata’ala
bahwa tidaklah Dia memenuhi suatu rumah dengan kebahagiaan, kecuali akan
mengisinya pula dengan kesedihan." Dan ketika seseorang bertanya
tentang apa yang menimpanya maka dia mengatakan, "Kami pada suatu pagi,
tidak mendapati seseorang pun di Arab kecuali berharap kepada kami,
kemudian kami di sore harinya tidak mendapati mereka kecuali menaruh
belas kasihan kepada kami."
Keluh Kesah Melipatgandakan Penderitaan
Di
antara obat untuk menghadapi musibah adalah dengan menyadari bahwa
keluh kesah tidak akan dapat menghilangkan musibah. Bahkan hanya akan
menambah serta melipatgandakan sakit dan penderitaan.
Musibah Terbesar Adalah Hilangnya Kesabaran
Termasuk
Obat ketika tertimpa musibah adalah dengan mengetahui bahwa hilangnya
kesabaran dan sikap berserah diri adalah lebih besar dan lebih berbahaya
daripada musibah itu sendiri. Karena hilangnya kesabaran akan
menyebabkan hilangnya keutamaan berupa kesejahtaraan, rahmat dan hidayah
yang Allah subhanahu wata’ala kumpulkan tiga hal itu dalam sikap sabar
dan istirja' (mengembalikan urusan kepada Allah).
IKHLAS DAN NIAT
Allah berfirman :
( Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan ) Huud :
15-16
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Sesungguhnya segala pekerjaan itu ( diterima atau tidaknya di sisi Allah
)hanyalah tergantung niatnya, dan setiap orang hanya akan mendapatkan
apa yang diniatkannya, maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa
hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang akan dia
menikah dengannya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan. HR.
Muttafaq 'alaih.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia
berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda
: Sesungguhnya orang yang pertama kali diputuskan perkaranya di hari
kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah, maka dia
didatangkan, dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah
diberikan kepadanya di dunia, lalu ia mengenalinya, maka Allah berkata
kepadanya : apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat ini ? maka orang
itu menjawab : aku berperang di jalan-Mu sampai mati syahid, maka Allah
berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu berperang agar dikatakan bahwa
kamu adalah seorang pemberani, dan yang sedemikian itu telah diucapkan (
kamu telak dipuji-puji dst sebagai imbalan apa yang telah kamu
niatkan.pent. ) maka diperintahkan supaya dia diseret di atas mukanya
sampai dilemparkan di api neraka, dan seseorang yang mempelajari ilmu
dan mengajarkannya, dan menghapal al-Qur'an, lalu dia didatangkan dan
diperkenalkan kepadanya segala nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya
di dunia, maka diapun mengenalinya, maka dikatakan kepadanya : apa yang
telah kamu lakukan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : aku
mempelajari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan membaca
al-Qur'an untuk-Mu. Maka Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu
belajar dengan tujuan agar engkau dibilang seorang alim, dan engkau
membaca/menghapal al-Qur'an supaya dibilang engkau seorang
penghapal/pembaca al-Qur'an yang baik, dan semua itu sudah dikatakan (
kamu telah mendapat pujian yang kamu harapkan sebagai imbalan niatmu )
lalu diperintahkan agar dia diseret di atas mukanya sehingga dia
dilemparkan ke api neraka, dan seseorang yang Allah berikan kepadanya
keluasan rizki dan diberikan kepadanya segala macam harta, lalu dia
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah
diberikan kepadanya dan dia mengenalinya, maka Allah berkata kepadanya :
apa yang kamu kerjakan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : tidak
ada suatu jalan yang Engkau suka harta yang telah Engkau berikan agar
dibelanjakan padanya kecuali aku telah membelanjakan harta itu di jalan
tersebut karena Engkau, maka Allah berkata : Kamu berdusta, akan tetapi
kamu melakukan itu agar dibilang bahwa kamu adalah seorang dermawan dan
yang sedemikian itu telah dikatakan ( kamu telah mendapat pujian
tersebut di dunia sebagai imbalan dari niatmu itu ), lalu diperintahkan
agar dia diseret di atas mukanya sehingga dia dilemparkan ke api neraka.
HR.Muslim
Keterangan singkat :
Niat adalah dasar segala
perbuatan, oleh karena itu setiap perbuatan manusia diterima tidaknya
disisi Allah sebatas niatnya, maka barangsiapa mengerjakan suatu
pekerjaan niatnya murni karena Allah dan mengharapkan ganjaran akhirat,
sedang perbuatannya itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, maka amalnya akan diterima oleh Allah, dan barangsiapa
niatnya untuk selain Allah atau tidak ikhlas karena Allah seperti dia
menyekutukan-Nya dengan makhluk, maka pekerjaannya itu akan ditolak dan
akan menjadi bencana baginya.
Hikmah yang dapat diambil dari ayat dan hadits di atas :
Bahwa dari syarat diterimanya amal adalah ikhlas yaitu bermaksud dengan amalnya itu karena Allah Ta'ala.
Pentingnya
ikhlas, karena amal tanpa ikhlas akan menjadi bencana bagi yang
mengerjakan pekerjaan tersebut, walaupun pekerjaan tersebut termasuk
dari perbuatan ibadah yang mulia ( seperti memberikan sedekah, membaca
al-Qur'an, mengajarkan ilmu bagi orang lain, bahkan mati syahid dalam
medan perang melawan orang-orang kafir).
Bahwa baiknya bentuk
suatu pekerjaan tidak cukup untuk diterimanya amal itu di sisi Allah
akan tetapi harus dibarengi dengan niat ikhlas.
Wajibnya memperbaiki niat dalam segala perbuatan, dan berusaha keras untuk selalu ikhlas dalam beramal.
I K H L A S
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah
dengan memurnikan ketha'atan kepadaNya dengan lurus."
(QS. Al-Bayyinah: 5)
1. Ikhlas merupakan suatu sifat yang sangat agung, suatu rahasia dari
rahasia-rahasia yang dititipkan hanya di qalbu para hamba yang di-
cintai-Nya. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang benar-benar
murni ketha'atannya serta bersih dari noda-noda syirik, terlindung
dari karat-karat jahiliyyah, terbebas dari penyakit-penyakit jiwa.
Mereka adalah jiwa yang senantiasa berada dalam kecintaan kepada
Al-Haq. Gerak-geriknya adalah dzikru 'l-Laah. Senyum dan tangisnya
hanya karena Allah. Desah dan resahnya-pun karena Dia semata-mata.
Shalatnya, 'ibadahnya, hidupnya, matinya, dan semuanya demi Allah
Rabbu 'l-'Aalamiin.
2. Ikhlas adalah tingkat ihsan, yang meyakini sekalipun dirinya tidak
dapat melihat Allah tapi Allah melihat apa saja yang ia kerjakan.
Ia meyakini Allah bersama dengannya dimanapun ia berada. Desah na-
fasnya, getar hatinya, lintasan berfikirnya, resah jiwanya selalu
merasa dalam pengawasan Allah, sang Kekasih....
"Dan Dia bersama dengan kalian dimanapun kalian ber-
ada, dan Allah Maha Melihat akan apa-apa yang kalian
kerjakan." (QS. Al-Hadiid:4)
3. Ikhlas itu tidak pernah memandang, menghitung-hitung apa-apa yang
telah diperbuat, tidak mengharap-harap balasan/ganjaran dan tidak
pernah merasa puas dengan 'amal-'amal yang telah dikerjakannya. Ia
tidak membutuhkan pengakuan dirinya, hawa nafsunya, apalagi orang
lain. Ia tidak mencari keindahan. keuntungan, pujian, popularitas,
fasilitas apalagi isi tas.
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa
dan kekayaan kalian, tapi Allah melihat kepada qalbu
kalian dan 'amal-'amal kalian." (H.R. Imam Muslim)
4. Riya' merupakan penyakit yang tidak akan berjangkit didalam hati
hamba Allah yang selalu ikhlas, karena keduanya bertolak belakang.
Penyakit Riya' membuat seseorang ternoda dan tertolak 'amal-'amal-
nya, karena Allah tidak suka disaingi oleh apapun dan siapapun.
"Janganlah sekali-sekali kamu menyangka bahwa orang-
orang yang gembira dengan apa yang telah mereka per-
buat dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan
yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka
bahwa terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang
paling pedih." (QS. Ali 'Imraan:188)
5. Demikian pula nifaq, sikap pura-pura yang menampilkan wajah suci
Islam tetapi sebenarnya kafir dan membenci Islam. Munafiq kategori
ini jelas-jelas KAFIR !! Ia menyembunyikan identitas aslinya seba-
gai MUSUH ALLAH!!! dan MUSUH KAUM MUSLIMIIN!!! Bicaranya DUSTA!!!
Janjinya PALSU!!! Amanah yang ada padanya DIKHIANATI!!! Diskusinya
TIDAK MENAMBAH IMAN!!!
"Allah menjanjikan bagi orang-orang munafiq laki-laki
dan perempuan, dan orang-orang kafir neraka jahanam,
mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka jahanam itu
bagi mereka, Allah melaknat mereka, dan bagi mereka
adzab yang kekal." (QS. At-Taubah:68)
"Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan)
pada tingkatan yang paling bawah dari neraka dan kamu
tak akan memperoleh seorang penolongpun bagi mereka."
(QS. An-Nisaa':145)
GHIBAH
Janganlah sebagian kamu mengunjing (ghibah) sebagian yang lain, sukakah
seorang diantaramu memakan saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujarat:12)
Setiap muslim berkewajiban untuk menjaga lidahnya, hendaknya dia
berkata baik sehingga bermaslahat bagi dirinya dan pendengarnya atau dia
diam (HR. Muttafaq Alaih). Karena setiap kata yang keluar dari lisan
seseorang akan dicatat sebagai kebaikan atau keburukan sesuai apa yang
dia bicarakan (lihat QS. Qaf:18). Maka dari itu. Nabi saw selalu
menganjurkan setiap muslim untuk menjaga lidahnya, karena banyak orang
tergelincir ke neraka karena terlalu mengumbar lidahnya yang tidak
bertulang itu. "Barang siapa dapat menjaga antara kumis dan jenggotnya
(yakni lidah) dan antara kedua kakinya (yakni kemaluannya), maka aku
jamin surga" demikian sabda Rasulullah saw (HR. Muttafaq Alaih).
Terlalu banyak bukti bahwa diantara sumber konflik antar pemerintah,
masyarakat dan individu disebabkan oleh pernyataan-pernyataan yang sarat
dengan tendensi buruk, yang berakibat menyinggung bahkan melukai
perasaan pihak lain. Ghibah salah satu penyakit masyarakat yang dapat
memperkeruh suasana. Rasulullah saw pernah mendefinisikan ghibah itu,
yaitu Anda menyebut saudara / kawan Anda dengan sesuatu yang tidak
disukainya. Kemudian beliau ditanya, kalau hal itu memang ada pada orang
itu? beliau menjawab, "Kalau pernyataan itu memang ada pada orang itu
berarti Anda telah melakukan ghibah, kalau tidak ada berarti Anda
berbohong" (HR. Muslim). Memang sebaik-baik orang Islam adalah yang
dapat menjaga lisan dan tangannya, sehingga tidak mengganggu pihak lain
(HR. Muttafaq Alaih). Dan sepantasnya kita membersihkan diri dari
ghibah, karena itu sifat orang beriman (lihat QS. Al-Qashosh:55 dan
Al-Mukminun:3)
“Kita bekerja sama untuk hal-hal yang kita sepakati dan kita saling
bertoleransi untuk hal-hal yang tidak kita sepakati.” --Hasan Al-Banna,
Majmu’atur Rasaail
Musibah terbesar yang menimpa kaum Muslimin
adalah perpecahan. Apa yang membuat kaum Muslimin bisa menang kembali
adalah cinta kasih dan persatuan. Umat ini tidak akan pernah menjadi
baik kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi pertamanya
dahulu. Inilah prinsip dasar dan sasaran penting setiap muslim.
Perbedaan
dalam berbagai masalah furu' (masalah cabang) merupakan sesuatu yang
niscaya. Mustahil manusia bisa bersatu dalam masalah-masalah tersebut,
karena beberapa alasan sebagai berikut:
Perbedaan kapasitas intelektual dalam memahami dan menangkap kedalaman makna-makna dalil serta dalam mengambil keputusan hukum.
Perbedaan
keluasan ilmu para ulama. Imam Malik berkata kepada Abu Ja'far,
"Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum memiliki ilmu tertentu.
Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat,
niscaya upaya itu hanya akan menimbulkan fitnah."
Perbedaan
lingkungan yang antara lain menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola
penerapan hukum. Itulah sebabnya Imam Syafi'i memberikan fatwa lama
(qaul qadim) di Iraq kemudian memunculkan fatwa baru (qauljadid) ketika
beliau berada di Mesir.
Perbedaan tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat.
Perbedaan dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum tertentu.
Mengharapkan
adanya ijma' dalam masalah furu' adalah mustahil. Bahkan bertentangan
dengan tabiat agama (dan kemanusiaan itu sendiri), karena Allah
menghendaki aktualitas agama ini abadi dan dapat menyertai semua zaman.
Inilah rahasia mengapa agama Islam ditata sedemikian rupa oleh Allah
sehingga mudah, fleksibel, bebas dari kebekuan dan ekstrimisme.
Perbedaan-perbedaan
itu tidak akan menghambat proses menyatunya hati, saling mencintai dan
kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Islam yang universal
ini akan sanggup memayungi kita dalam batasan-batasannya yang begitu
luas.
Bukankah sebagai Muslim kita suka bertahkim kepada sesuatu
kita merasa tenang kepadanya? Bukankah kita dituntut untuk mencintai
bagi saudara kita apa yang kita cinta bagi diri kita sendiri? Lantas,
mengapa masih harus ada perpecahan? Mengapa kita tidak berusaha untuk
saling memahami dalam suasana penuh cinta? Para sahabat Rasulullah Saw
juga sering berbeda dalam memutuskan hukum. Tapi adakah itu kemudian
memecah belah hati mereka? Sama sekali tidak.
Jika para sahabat
saja—yang lebih dekat dengan zaman kenabian dan lebih tahu tentang seluk
beluk hukum—masih juga berbeda pendapat, mengapa kita harus saling
membunuh untuk suatu perbedaan dalam masalah-masalah sepele? Jika para
Imam saja, yang lebih tahu tentang Al-Qur'an dan Sunah, masih saling
berbeda dan berdebat, mengapa dada kita tidak selapang mereka dalam
mensikapi perbedaan?
Kesadaran itulah yang akan membuat dada
kita lebih lapang dalam menghadapi berbagai perbedaan. Setiap kaum
memiliki ilmu, dan bahwa pada setiap (jama’ah) da’wah ada sisi benarnya
dan ada sisi salahnya. Kita akan selalu mencari sisi yang benar dan
berusaha menyampaikan (sisi salahnya) kepada orang lain secara
persuasif. Bila kemudian mereka menerima, maka itulah yang lebih baik,
dan itu pula yang kita harapkan.
Adapun jika ternyata mereka
menolak, sesungguhnya mereka tetap kita anggap sebagai saudara seagama.
Kami berharap semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.
Kita
akan menerima adanya perbedaan dan membenci sikap fanatisme terhadap
pendapat sendiri. Kita senantiasa berusaha menemukan kebenaran, kemudian
membawa masyarakat kepada kebenaran itu dengan cara yang baik dan sikap
yang lemah-lembut.*
KEKUATAN SEBUAH DO'A
"Ya Allah, jangan kembalikan aku ke keluargakau, dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
Doa
itu keluar dari mulut `Amru bin Jamuh, ketika ia bersiap-siap
mengenakan baju perang dan bermaksud berangkat bersama kaum Muslimin ke
medan Uhud. Ini adalah kali pertama bagi `Amru terjun ke medan perang,
karena dia kakinya pincang. Di dalam Al-Quran disebutkan: "Tiada dosa
atas orang-orang buta, atas orang-orang pincang dan atas orang sakit
untuk tidak ikut berperang." (Qs Al-Fath:17)
Karena
kepincangannya itu maka `Amru tidak wajib ikut berperang, di samping
keempat anaknya telah pergi ke medan perang. Tidak seorangpun menduga
`Amru dengan keadaannya yang seperti itu akan memanggul senjata dan
bergabung dengan kaum Muslimin lainnya untuk berperang.
Sebenarnya,
kaumnya telah mencegah dia dengan mengatakan: "Sadarilah hai `Amru,
bahwa engkau pincang. Tak usahlah ikut berperang bersama Nabi saw."
Namun `Amru menjawab: "Mereka semua pergi ke surga, apakah aku harus duduk-duduk bersama kalian?"
Meski
`Amru berkeras, kaumnya tetap mencegahnya pergi ke medan perang. Karena
itu `Amru kemudian menghadap Rasulullah Saw dan berkata kepada beliau:
"Wahai Rasulullah. Kaumku mencegahku pergi berperang bersama Tuan. Demi
Allah, aku ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini."
"Engkau dimaafkan. Berperang tidak wajib atas dirimu." Kata Nabi mengingatkan.
"Aku tahu itu, wahai Rasulullah. Tetapi aku ingin berangkat ke sana." Kata `Amru tetap berkeras.
Melihat
semangat yang begitu kuat, Rasulullah kemudian bersabda kepada kaum
`Amru: "Biarlah dia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan
kepadanya."
Dengan terpincang-pincang `Amru akhirnya ikut juga
berperang di barisan depan bersama seorang anaknya. Mereka berperang
dengan gagah berani, seakan-akan berteriak: "Aku mendambakan surga, aku
mendambakan mati: sampai akhirnya ajal menemui mereka.
Setelah
perang usai, kaum wanita yang ikut ke medan perang semuanya pulang. Di
antara mereka adalah "Aisyah. Di tengah perjalanan pulang itu `Aisyah
melihat Hindun, istri `Amru bin Jamuh sedang menuntun unta ke arah
Madinah. `Aisyah bertanya: "Bagaimana beritanya?"
"Baik-baik ,
Rasulullah selamat Musibah yang ada ringan-ringan saja. Sedang
orang-orang kafir pulang dengan kemarahan, "jawab Hindun.
"Mayat siapakah di atas unta itu?"
"Saudaraku, anakku dan suamiku."
"Akan dibawa ke mana?"
"Akan dikubur di Madinah."
Setelah
itu Hindun melanjutkan perjalanan sambil menuntun untanya ke arah
Madinah. Namun untanya berjalan terseot-seot lalu merebah.
"Barangkali terlalu berat," kata `Aisyah.
"Tidak. Unta ini kuat sekali. Mungkin ada sebab lain." Jawab Hindun.
Ia
kemudian memukul unta tersebut sampai berdiri dan berjalan kembali,
namun binatang itu berjalan dengan cepat ke arah Uhud dan lagi-lagi
merebah ketika di belokkan ke arah Madinah. Menyaksikan pemandangan aneh
itu, Hindun kemudian menghadap kepada Rasulullah dan menyampaikan
peristiwa yang dialaminya: "Hai Rasulullah. Jasad saudaraku, anakku dan
suamiku akan kubawa dengan unta ini untuk dikuburkan di Madinah. Tapi
binatang ini tak mau berjalan bahkan berbalik ke Uhud dengan cepat."
Rasulullah berkata kepada Hindun: "Sungguh unta ini sangat kuat. Apakah suamimu tidak berkata apa-apa ketika hendak ke Uhud?"
"Benar
ya Rasulullah. Ketika hendak berangkat dia menghadap ke kiblat dan
berdoa: "Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan
limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
"Karena itulah unta ini tidak
mau berangkat ke Medinah. Allah SWT tidak mau mengembalikan jasad ini ke
Madinah" kata beliau lagi.
"Sesungguhnya diantara kamu sekalian
ada orang-orang jika berdoa kepada Allah benar-benar dikabulkan.
Diantara mereka itu adalah suamimu, `Amru bin Jumuh," sambung Nabi.
Setelah
itu Rasulullah memerintahkan agar ketiga jasad itu dikuburkan di Uhud.
Selanjutnya beliau berkata kepada Hindun: "Mereka akan bertemu di surga.
`Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah, saudaramu."
"Ya Rasulullah. Doakan aku agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka,: kata Hindun memohon kepada Nabi.
Berlindung Dari Fitnah
Berlindung kepada Allah, khususnya pada masa-masa fitnah sedang menyebar
dan merajalela merupakan sebuah keharusan dan hal yang amat penting.
Dan itu merupakan jalan yang paling tepat untuk terlepas dari kejahatan
fitnah-fitnah itu, baik yang besar atau pun yang kecil.
Jika
seseorang memperhatikan berbagai macam fitnah, seperti fitnah kehidupan
dunia dengan iming-iming nafsu dan syahwatnya; Fitnah kematian,
penghimpunan manusia di padang Mahsyar, serta huru-hara Akhirat; Fitnah
kekacauan, pembunuhan dan peperangan; Fitnah tersumbatnya suara
kebenaran dan merebaknya kebatilan; Fitnah ujub, besar kepala dan
sebagainya, maka sungguh akan menggugah hati untuk menyelamatkan diri
darinya dan mendorong untuk berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala,
minta keselamatan dan terbebas dari segala keburukannya.
Fitnah Dunia
Fitnah
dunia beserta isinya, berupa permainan, kesenangan dan syahwat
mengharuskan kita untuk selalu berlindung kepada Allah dari
keburukannya. Merupakan fitnah dunia yang sangat besar bagi seorang
laki-laki adalah fitnah (ujian/godaan) wanita. Oleh karena itu Nabi
Yusuf ’alaihis salam tatkala khawatir terhadap fitnah wanita, beliau
mengatakan,
“Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya
mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)dan
tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh". (QS. 12:33)
Harta
benda juga merupakan fitnah yang harus dimintakan perlindungan kepada
Allah dari keburukannya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam meminta perlindungan dari jahatnya fitnah kekayaan, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits shahih tatkala berlindung dari berbagai
fitnah dunia, salah satunya adalah, "Dan (aku berlindung) dari buruknya
fitnah kekayaan." (HR. al-Bukhari, merupakan sebuah penggalan hadits)
Keluarga dan anak-anak juga merupakan fitnah dunia sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. 64:14-15)
Oleh
karena itu seorang hamba harus memohon kepada Allah agar menjadikan
keluarga dan anak cucunya sebagai qurrata ain, penyejuk hati dan pembawa
kebaikan. Seorang muslim sadar bahwa keluarga dan anak-anak adalah
merupakan fitnah dan ujian hidup. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan
orang-orang yang berkata, "Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. 25:74)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan do’a, "Dan aku berlindung kepada-Mu dari (keburukan) fitnah hidup."
Fitnah Syetan
Syetan
adalah fitnah bagi manusia. Dia selalu menghiasi keburukan sehingga
tampak indah dan baik, agar manusia tertipu dan tersesat. Fitnah syetan
termasuk sangat besar. Ia selalu menggoda manusia dan mendampingi
semenjak lahir hingga menjelang kematiannya. Maka Allah subhanahu
wata’ala menganjur kan agar kita berlindung kepada-Nya dari segala
gangguan syetan, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan katakanlah,“Ya
Rabbku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syetan. Dan aku
berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka
kepadaku". (QS. 23:97-98)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menjelaskan bahwa do’a dan dzikir kepada Allah merupakan senjata ampuh
bagi seorang muslim untuk menghadapi gangguan syetan. Diriwayatkan dari
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, artinya,
"Tidaklah seorang hamba mengucapkan
setiap pagi dan sore (doa), "Dengan menyebut Nama Allah, yang dengan
menyebut-Nya maka tidak berbahaya segala sesuatu yang berada di bumi dan
di langit dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dia ucapkan)
sebanyak tiga kali maka tidak akan membahayakannya segala suatu apapun."
(HR.Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan sanadnya hasan)
Dan
tatkala Abu Bakarradhiyallahu ‘anhu, meminta kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajar kan sebuah kalimat (doa)
yang diucapkan ketika pagi dan sore hari, maka di antara yang diajarkan
beliau adalah berlindung kepada Allah dari syetan dan sekutunya. Beliau
bersabda, "Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku dan
kejahatan syetan beserta sekutunya." (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad
dan al-Hakim, dishahihkan oleh adz-Dzahabi)
Fitnah Akhirat
Fitnah
akhirat dimulai sejak seseorang masuk ke alam kubur hingga datangnya
hari Kiamat dengan kedahsyatannya. Semua itu harus dimohonkan
perlindungan kepada Allah subhanahu wata’ala agar kita selamat dari
malapetaka nya, dan dengan keutamaan serta rahmat-Nya kita dimasukkan ke
dalam surga.
Termasuk fitnah akhirat yang besar adalah fitnah
kubur, yaitu pertanyaan di kubur terhadap seorang hamba tentang siapa
Rabbnya, apa agamanya, siapa Nabinya dan seterusnya. Jika dia seorang
yang istiqamah di atas agama Allah maka akan selamat dan dapat berbicara
serta menjawab sesuai yang diridhai Allah subhanahu wata’ala. Jika dia
menyepelekan agama dan zhalim maka akan mendapatkan kerugian dan
mengucapkan kalimat kekufuran, kita berlindung kepada Allah dari hal
itu.
Oleh karena itu dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari adzab kubur.
Fitnah al-Masih ad-Dajjal
Fitnah
dajjal adalah termasuk fitnah terbesar yang akan dialami manusia
menjelang hari Kiamat, dan dia merupakan salah satu tanda akan
terjadinya Kiamat Kubra (kiamat besar). Tentang kapan munculnya dajjal,
maka tidak seorang pun mengetahuinya, yang penting adalah bahwa
seseorang tidak akan dapat selamat dari fitnah dajjal kecuali atas
perlindungan Allah subhanahu wata’ala. Sehingga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam meminta perlindungan kepada-Nya dari fitnah dajjal
tersebut.
Dalam sebuah hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya,
"Barang
siapa yang membaca sepuluh ayat pertama dari surat al-Kahfi maka akan
dijaga dari dajjal." Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan, "Barang
siapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dari surat al-Kahfi maka akan
dijaga dari dajjal." (HR. Muslim)
Fitnah Jahannam
Merupakan
salah satu fitnah akhirat adalah fitnah adzab Jahannam. Semoga Allah
menjaga kita darinya. Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala
menganjurkan kepada kita untuk berlindung dari adzab Jahannam tersebut,
sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala tatkala menyebutkan di
antara sifat hamba Allah, yang artinya
“Dan orang-orang yang
berkata, "Ya Rabb kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya
azabnya itu adalah kebinasan yang kekal". Sesungguhnya jahannam itu
seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. 25:65-66)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari adzab Jahannam
Fitnah Orang Kafir
Salah
satu fitnah yang dihadapi oleh orang mukmin di setiap tempat dan waktu
adalah permusuhan orang-orang kafir. Oleh karena itu Allah subhanahu
wata’ala menyebutkan tentang orang-orang mukmin pengikut Thalut
alaihissalam, tatkala menghadapi musuh mereka Jalut dan tentaranya maka
mereka berlindung kepada Allah dengan berdoa, sebagaimana firman Allah,
“Tatkala
Jalut dan tentaranya telah tampak oleh mereka, mereka pun berdo'a, "Ya
Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokoh- kanlah
pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir". (QS.
2:250)
Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang kaum Nabi Musa, artinya,
“Berkata
Musa, "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawa-kallah
kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri". Lalu
mereka berkata, "Kepada Allah-lah kami bertawakal! Ya Rabb kami,
janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim, dan
selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang
yang kafir". (QS. 10:84-86)
Allah subhanahu wata’ala juga menyebutkan tentang Nabi Ibrahim dan kaumnya yang berd’oa kepada Allah,
"Ya
Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi
orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Rabb kami. Sesungguhnya Engkau,
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. 60:5)
Disebutkan
dalam sebuah hadits shahih dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu dia berkata, "Ketika terjadi perang Badar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melihat ke arah kaum musyrikin yang berjumlah seribuan
orang sedangkan shahabat beliau hanya tiga ratus tiga belas orang. Maka
beliau menghadap kiblat lalu menengadahkan tangan berdoa kepada Rabbnya,
"Ya Allah penuhilah untukku apa yang Kau janjikan, ya Allah
datangkanlah kepadaku apa yang Kau janjikan. Ya Allah jika Kamu
binasakan sekelompok ahlul Islam ini, maka Engkau tidak disembah di muka
bumi." Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus-menerus berdoa dengan
menengadahkan tangan, menghadap ke kiblat sehingga kain yang ada di
pundaknya terjatuh. Lalu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu datang mengambil
kain itu kemudian meletakkannya kembali di pundak beliau. Dia lalu
mendekat dari arah belakang Nabi dan berkata, "Wahai Nabi Allah, telah
cukup permohonanmu kepada Allah, sesungguhnya Dia akan memberikan
untukmu apa yang Dia janjikan kepadamu.” Maka Allah subhanahu wata’ala
menurunkan ayat, “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada
Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, "Sesungguhnya Aku akan
mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang
bertutut-turut". (QS. 8:9). (HR Muslim)
Amat banyak saudara kita
di negeri Islam yang sedang menghadapi ujian dan cobaan dari orang
kafir, berada dalam penindasan kaum salibis, zionis dan kapitalis. Maka
kita hendaknya senantiasa memohon kepada Allah, agar segera mengentaskan
musibah tersebut dengan secepatnya.
Fitnah Ujub dan Bangga Diri
Ujub,
terpedaya dan bangga diri merupakan fitnah yang selayaknya dimintakan
perlindungan kepada Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali
kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. 17:37)
Fitnah ini
hendaknya diwaspadai khusunya oleh para aktivis dakwah, penyebar ilmu,
para pejuang dan orang semisal mereka yang banyak dibutuhkan olah umat
Islam di zaman ini. Hendaklah mereka hati-hati dari fitnah ini, dengan
banyak berlindung dan bersandar kepada Allah subhanahu wata’ala, agar
jangan menjadikan amalnya sebagaimana amal yang Dia firmankan,
“Dan
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. 25:23).Hanya kepada Allah kita
mohon pertolongan.
Sumber: Kutaib, “Dharuratu alluju’ ilallah ‘inda hudutsil fitan,” DR. Abdul Hamid bin Abdur Rahman al-Suhaibani
KEBERKAHAN HIDUP
Setiap orang tentu saja ingin memperoleh keberkahan dalam hidupnya di
dunia ini. Karena itu kita selalu berdo’a dan meminta orang lain
mendo’akan kita agar segala sesuatu yang kita miliki dan kita upayakan
memperoleh keberkahan dari Allah Swt. Secara harfiyah, berkah berarti an
nama’ waz ziyadah yakni tumbuh dan bertambah, ini berarti Berkah adalah
kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu
sebagaimana mestinya sehingga apa yang diperoleh dan dimiliki akan
selalu berkembang dan bertambah besar manfaat kebaikannya. Kalau sesuatu
yang kita miliki membawa pengaruh negatif, maka kita berarti tidak
memperoleh keberkahan yang diidamkan itu.
Namun, Allah Swt tidak
sembarangan memberikan keberkahan kepada manusia. Ternyata, Allah hanya
akan memberi keberkahan itu kepada orang yang beriman dan bertaqwa
kepada-Nya. Janji Allah untuk memberikan keberkahan kepada orang yang
beriman dan bertaqwa dikemukakan dalam firman-Nya yang artinya: Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya (QS 7:96).
Apabila manusia, baik secara
pribadi maupun kelompok atau masyarakat memperoleh keberkahan dari Allah
Swt, maka kehidupannya akan selalu berjalan dengan baik, rizki yang
diperolehnya cukup bahkan melimpah, sedang ilmu dan amalnya selalu
memberi manfaat yang besar dalam kehidupan. Disilah letak pentingnya
bagi kita memahami apa sebenarnya keberkahan itu agar kita bisa berusaha
semaksimal mungkin untuk meraihnya.
BENTUK KEBERKAHAN
Secara
umum, keberkahan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman
bisa kita bagi kedalam tiga bentuk. Pertama, berkah dalam keturunan,
yakni dengan lahirnya generasi yang shaleh. Generasi yang shaleh adalah
yang kuat imannya, luas ilmunya dan banyak amal shalehnya, ini merupakan
sesuatu yang amat penting, apalagi terwujudnya generasi yang
berkualitas memang dambaan setiap manusia. Kelangsungan Islam dan umat
Islam salah satu faktornya adalah adanya topangan dari generasi yang
shaleh. Generasi semacam itu juga memiliki jasmani yang kuat, memiliki
kemandirian termasuk dalam soal harta dan bisa menjalani kehidupan
dengan sebaik-baiknya. Keberkahan semacam ini telah diperoleh Nabi
Ibrahim as dan keluarganya yang ketika usia mereka sudah begitu tua
ternyata masih dikaruniai anak, bahkan tidak hanya Ismail yang shaleh,
sehat dan cerdas, tapi juga Ishak dan Ya’kub. Di dalam Al-Qur’an
keberkahan semacam ini diceritakan oleh Allah yang artinya: Dan
isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami
sampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran Ishak dan dari
Ishak (akan lahir puteranya) Ya’kub. Isterinya berkata: "Sungguh
mengherankan, apakah aku aka melairkan anak, padahal aku adalah
perempuan seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang
sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh".
Para malaikat itu berkata: "Apakahkamu merasa heran tentang ketetapan
Allah? (itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas
kamu, hai ahlul bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah"
(QS 11:71-73).
Kedua, keberkahan dalam soal makanan yakni
makanan yang halal dan thayyib, hal ini karena ulama ahli tafsir,
misalnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan dari langit dan bumi
sebagaimana yang disebutkan dalam firman surat Al A’raf: 96 di atas
adalah rizki yang diantara rizki itu adalah makanan. Yang dimaksud
makanan yang halal adalah disamping halal jenisnya juga halal dalam
mendapatkannya, sehingga bagi orang yang diberkahi Allah, dia tidak akan
menghalalkan segala cara dalam memperoleh nafkah. Disamping itu,
makanan yang diberkahi juga adalah yang thayyib, yakni yang sehat dan
bergizi sehingga makanan yang halal dan tayyib itu tidak hanya
mengenyangkan tapi juga dapat menghasilkan tenaga yang kuat untuk
selanjutnya dengan tenaga yang kuat itu digunakan untuk melaksanakan dan
menegakkan nilai-nilai kebaikan sebagai bukti dari ketaqwaannya kepada
Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Dan makanlah makanan yang halal
lagi baik dari apa yang telah Allah rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah
kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS 5:88).
Karena itu,
agar apa yang dimakan juga membawa keberkahan yang lebih banyak lagi,
meskipun sudah halal dan thayyib, makanan itu harus dimakan sewajarnya
atau secukupnya, hal ini karena Allah sangat melarang manusia
berlebih-lebihan dalam makan maupun minum, Allah Swt berfirman yang
artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indak di setiap memasuki
masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (7:31).
Ketiga,
berkah dalam soal waktu yang cukup tersedia dan dimanfaatkannya untuk
kebaikan, baik dalam bentuk mencari harta, memperluas ilmu maupun
memperbanyak amal yang shaleh, karena itu Allah menganugerahi kepada
kita waktu, baik siang maupun malam dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam
setiap harinya, tapi bagi orang yang diberkahi Allah maka dia bisa
memanfaatkan waktu yang 24 jam itu semaksimal mungkin sehingga
pencapaian sesuatu yang baik ditempuh dengan penggunaan waktu yang
efisien. Sudah begitu banyak manusia yang mengalami kerugian dalam hidup
ini karena tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik, sementara salah
satu karakteristik waktu adalah tidak akan bisa kembali lagi bila sudah
berlalu, Allah berfirman yang artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia
itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran
dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran (QS 103:1-3).
Karena
itu, bagi seorang muslim yang diberkahi Allah, waktu digunakan untuk
bisa membuktikan pengabdiannya kepada Allah Swt, meskipun dalam berbagai
bentuk usaha yang berbeda, Allah berfirman yang artinya: Demi malam
apabila menutupi, dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan
laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
Adapun orang yang memberikan (harta di jalan Allah) dan bertaqwa dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah (92:1-7).
KUNCI KEBERKAHAN.
Dengan
demikian menjadi jelas bagi kita bahwa sebagai seorang muslim,
keberkahan dari Allah untuk kita merupakan sesuatu yang amat penting.
Karena itu, ada kunci yang harus kita miliki dan usahakan dalam hidup
ini. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor yang menjadi kunci keberkahan
itu.
Iman dan Taqwa Yang Benar.
Di dalam ayat di atas,
sudah dikemukakan bahwa Allah akan menganugerahkan keberkahan kepada
hamba-hambanya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Semakin mantap iman
dan taqwa yang kita miliki, maka semakin besar keberkahan yang Allah
berikan kepada kita. Karena itu menjadi keharusan kita bersama untuk
terus memperkokoh iman dan taqwa kepada Allah Swt. Salah satu ayat yang
amat menekankan peningkatan taqwa kepada orang yang beriman adalah
firman Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwadan jangan sampai kamu mati
kecuali dalam keadaan berserah diri/muslim (QS 3:102).
Keimanan
dan ketaqwaan yang benar selalu ditunjukkan oleh seorang mu’min dalam
bentuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, baik
dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan sendiri maupun bersama
orang lain. Tegasnya keimanan dan ketaqwaan itu dibuktikan dalam situasi
dan kondisi yang bagaimananpun juga dan dimanapun dia berada.
Berpedoman kepada Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan sumber keberkahan sehingga apabila kita menjalankan
pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan berpedoman kepadanya
dalam berbagai aspek kehidupan, nicaya kita akan memperoleh keberkahan
dari Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Dan Al-Qur’an ini adalah
suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah kami turunkan.
Maka mengapakah kamu mengingkarinya? (QS 21:50, lihat juga QS
38:29.6:155).
Karena harus kita jalankan dan pedomani dalam
kehidupan ini, maka setiap kita harus mengimani kebenaran Al-Qur’an
bahwa dia merupakan wahyu dari Allah Swt sehingga tidak akan kita
temukan kelemahan dari Al-Qur’an, selanjutnya bisa dan suka membaca
serta menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut aspek
pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa.
Akhirnya menjadi
jelas bagi kita bahwa, keberkahan dari Allah yang kita dambakan itu,
memperolehnya harus dengan berdo’a dan berusaha yang sungguh-sungguh,
yakni dalam bentuk memantapkan iman dan taqwa serta selalu menjadikan
Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidup ini.
GANJARAN SEDEKAH
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir, seratus biji, Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (Karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Baqarah:261)
Kebaikan
yang dikerjakan oleh setiap muslim akan diganjar Allah 10 kali lipat
sampai 700 kali lipat. Tidak terkecuali bersedekah dan berinfak di jalan
Allah SWT. Bersedekah termasuk ibadah yang bermanfaat bagi si pelaku
dan objek yang menerima sedekah tersebut. Bersedekah itu tidak
mengurangi harta, bahkan harta yang disedekahi akan membawa berkah. Hal
itu dipraktekan oleh Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Hakim
bin Hizam bahwa Rasulullah saw itu senang bersedekah tetapi beliau
tidak mau menerima sedekah. Banyak orang masuk Islam karena pemberian
dari Rasulullah saw. Tetapi Annas bin Malik melaporakan bahwa mereka
masuk Islam di pagi hari disebabkan oleh dunia, di sore hari mereka
telah berubah, dan justru mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT.
Nabi Muhammad saw mengingatkan bahwa manusia senang membanggakan
hartanya, sementara yang dia dapat menikmatinya hanya sedikit; barang
yang dipakai akan usang, makanan yang dimakan menjadi sari dan kotoran,
dan yang disedekahkan di jalan Allah , itu saja yang tertinggal dan
bermanfaat (HR. Muslim).
Alangkah beruntungnya orang yang
mengerti terhadap amanat harta yang diembanya, sehingga dia tidak
berkeberatan untuk menyalurkannya di jalan Allah, itulah harta yang
berkah.
HAKIKAT MANUSIA
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan" (QS. Al Isra': 70)
Suatu siang, jalan baru di pinggiran kota dipenuhi kerumunan orang. Mereka
saling berdesakan untuk bisa melihat obyek pandangan yang menjadi sasaran
penglihatan mereka. Ternyata yang menjadi obyeknya adalah seonggok mayat
yang penuh luka. Rupanya itu adalah mayat seorang residivis yang diamuk
massa. Mayat itu tergeletak dibiarkan begitu saja. Orang lalu lalang silih
berganti hanya untuk melihat, mayat siapakah gerangan?. Itu saja yang
diperbuat orang banyak bukan untuk memberikan pertolongan atau memproses
mengurusi jenazahnya. Ada pula yang sumpah serapah kepada mayat tersebut,
bahkan ada juga yang merasa senang atas tewasnya sang residivis, karena
berkuranglah kejahatan yang dilakukan orang itu.
Sementara di sudut kampung terdapat sebuah rumah yang dipenuhi kerumunan
orang yang ingin takziyah melayat jenazah seorang ustadz di wilayah itu.
Rumah kecilnya tidak pernah berhenti dikunjungi orang. Mereka sangat
menghormati sang ustadz yang teramat mereka cintai. Karena jasa-jasa beliau
begitu banyak memberikan pencerahan aktivitas keagamaan di kampung terpencil
itu. Bahkan orang yang menshalatkannya bergiliran secara bergelombang
lantaran penuh sesaknya orang yang ingin turut menshalatkannya. Begitu pula
ketika mengantarkannya ke pemakaman tempat peristirahatannya yang terakhir,
masyarakat berduyun-duyun mengiringinya. Tampak raut wajah penuh duka
kehilangan figure guru yang mereka cintai, karena telah mengajari mereka
tentang kebenaran. Petuah ajarannya yang menjadikan mereka lebih memahami
kebenaran dan kebatilan. Mereka dapat mengetahui hakikat kehidupan yang
sebenarnya.
Potret dua keadaan di atas sangatlah bertolak belakang. Hal ini merupakan
tampilan masyarakat yang dapat kita temukan dengan mudah di sekitar kita.
Seonggok jenazah yang pertama dan kedua diperlakukan berbeda oleh
masyarakatnya. Perlakukan itu semakin memperjelas bagi kita tentang
kedudukan dua orang tersebut yang mempunyai perbedaan yang sangat mendasar.
Perbedaan kualitas dan hakikat dirinya sebagai manusia. Sekalipun secara
fisik keadaan mereka berdua tidaklah berbeda satu dengan yang lainnya.
Perlakukan yang berbeda itu sebenarnya telah disinyalir oleh Allah Swt.
dalam Al-Qur'an bahwa mereka yang beriman dan beramal shalih akan dimuliakan
kedudukannya sedangkan mereka yang membangkang akan direndahkan derajatnya
bahkan lebih rendah dari binatang ternak. Perlakukan itu tidak hanya di
dunia melainkan juga di akhirat. Malah di akhirat lebih besar lagi perbedaan
dalam memperlakukan model-model manusia seperti itu.
Sebagaimana yang kita pahami bahwa persoalan di atas terletak pada sikap
dalam menjalankan kedudukan dirinya sebagai manusia. Mereka yang benar dalam
mendudukkan posisinya sebagai manusia seperti yang ditentukan Allah Swt.
maka mereka pantas untuk mendapatkan perlakukan yang layak dan baik.
Sebaliknya mereka yang tidak dapat mendudukkan dirinya dengan tepat maka
mereka pun akan dihinakan karena sikapnya.
Manusia sebagai makhluk Allah Swt. tentu memiliki kedudukan yang berbeda
dari ciptaan-Nya yang lain. Oleh karena itu mereka mempunyai imtiyazat
(keistimewaan) sebagai makhluk Allah Swt. Al-Qur'an menyebutkannya dalam
beberapa sisi. Di antaranya;
1. Mukarram (makhluk yang dimuliakan)
Sebagai makhluk yang dimuliakan Allah Swt. manusia diberikan keistimewaan.
Bentuk fisik yang bagus dengan tata letak yang tepat menjadikan dirinya
berbeda dengan makhluk lainnya. Letak kepalanya, hidungnya, alisnya,
mulutnya dan beberapa organ lainnya yang sesuai dengan posisi dan porsinya.
Dengan tampilan seperti itu manusia kelihatan cantik dan ganteng. Sehingga
manusia tidak pernah malu pada hewan atau tetumbuhan lantaran tampilan
fisiknya. Keistimewaan bentuk fisik yang dimiliki manusia merupakan karunia
Allah Swt. yang membuatnya tidak pernah merasa minder bila berada di kebun
binatang sekalipun binatang yang terdapat di dalamnya adalah
binatang-binatang pilihan.
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya" (QS. At Tiin: 4)
Dengan tampilan fisik dan bentuk yang bagus manusia juga diberikan
keistimewaan lainnya. Yakni ditundukkannya alam semesta untuk kehidupannya.
Manusia bisa mengarungi samudera yang luas. Mengelilingi dunia, menikmati
panorama indahnya alam raya. Diberikan kepadanya tumbuh-tumbuhan baik yang
dapat dikonsumsinya ataupun untuk dipandangnya. Juga dijinakkan hewan-hewan
kepadanya sehingga ada yang dapat dimakan, ditunggangi atau untuk membantu
kehidupan umat manusia. Semua anugerah itu merupakan bentuk pemuliaan Allah
Swt. kepada manusia. Agar karunia tersebut dapat dipergunakan bagi
kehidupannya dalam mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Namun jika kenikmatan
itu tidak dipergunakan sebagaimana aturan-Nya maka Allah Swt. akan memandang
hina dan rendah manusia itu. Mereka disamakan derajatnya dengan hewan bahkan
lebih dari itu. Na'udzubillahi min dzalik.
2. Mukallaf (makhluk yang dibebankan tugas)
Dengan kelebihan dan karunia yang diberikan kepada mereka, manusia dibeban
tugaskan untuk beribadah dan mengatur serta merawat jagat raya yang menjadi
sarana hidupnya dengan sebaik-baiknya. Agar mereka menyadari bahwa karunia
itu tidak datang dengan sendirinya melainkan ia adalah pemberian Tuhan
sehingga mereka seharusnya berterima kasih pada-Nya dengan senantiasa
beribadah.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku" (QS. Ad Dzariyat: 56)
Begitu pula manusia harus menyadari bahwa sarana hidupnya telah tersebar di
penjuru bumi agar mereka menggalinya, memanfaatkannya dan merawatnya untuk
kehidupannya. Pada posisi peran ini manusia menjadi pemimpin di alam semesta
ini (khalifah) yang menjalankan ajaran Allah Swt. dan merealisasikannya
dengan benar. Bukan malah melakukan kerusakan di muka bumi, dengan
menghancurkan alam raya, merusak ekosistem hidup atau membiarkannya punah
dan musnah. Agar manusia dapat menjaga kelestarian hidupnya dan jagat raya
sebagai sarana hidupnya.
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan Khalifah dimuka bumi".... (QS. Al Baqarah: 30).
3. Mujzi (makhluk yang mendapatkan balasan atas amalannya)
Dalam menjalankan beban tugasnya manusia pun mendapatkan balasan atas
amalannya. Mereka yang menunaikan tugasnya dengan baik manusia berhak meraih
anugerah keridhaan dan surga-Nya. Sedangkan mereka yang tidak menunaikan
tugasnya maka azab dan neraka-Nya lebih pantas untuk mereka terima. Seberapa
pun amal yang mereka kerjakan kecil atau besar pasti mendapatkan balasannya
baik atau pun buruk. Dengan agar manusia dapat memahami bahwa semua
perbuatan yang dilakukannya tidak akan dibiarkan begitu saja melainkan pasti
akan ada balasannya.
"Barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan seberat dzarrah pun niscaya dia
akan mendapatkan balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan amal
kejahatan seberat dzarrah pun niscaya dia akan mendapatkan balasannya pula"
(QS. Az Zalzalah: 7 - 8).
Demikianlah kedudukan manusia yang sebagian di jelaskan dalam Al Qur'an,
agar kita mampu menjalankannya dengan benar sehingga kita dapat meraih
derajat yang mulia di sisi Allah Swt. dan makhluk-Nya. Wallahu 'alam
bishshawab. (SyH)
IKHLAS DAN BEBERAPA PERUSAKNYA
Pentingnya amalan hati
Secara umum amalan hati lebih penting dan
ditekankan daripada amalan lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah
mengatakan:"Bahwasanya ia meru pakan pokok keimanan dan landasan utama
agama, seperti mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala dan rasulNya,
bertawakal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankan
agama semata-mata karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur
kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap
kepadaNya,.. dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara
wajib (Al fatawa 10/5, juga 20/70)
Imam Ibnu Qayyim juga pernah
berkata: "Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan
anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat
ruh, dan gerakan anggota badan adalah jasadnya. Jika ruh itu terlepas
maka matilah jasad. Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan
dengan hati lebih penting daripada memahami hukum-hukum yang berkaitan
dengan gerakan anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).
Lebih
jauh lagi dalam kitab yang sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang
dilakukan anggota badan tidak ada manfaatnya tanpa amalan hati, dan
sesungguhnya amalan hati lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba
daripada amalan anggota badan.
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas)
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus." (QS. 98:5)
Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl,
penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah
akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai
tuntunan).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu
beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam
bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah
Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu
per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku
tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).
Oleh karenanya
suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan
jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak
berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat
besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili
pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya
dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili
adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al
Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang
ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia
berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut
sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni
dimasukkan kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).
Pengertian Ikhlas
Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
pertama,
Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan. kedua,
Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari
perhatian manusia. Ketiga, Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa
orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh
penghormatan dan peng-hargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada
orang lain,karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan
ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh
orang,walaupun perbuatan itu sepele.
Ditanya Sahl bin Abdullah
At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas,
karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi."
Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobati
daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."
Perusak-perusak Keikhlasan
Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
1)
Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat
manusia, lalu orang-orangpun memujinya. 2) Sum'ah, yaitu beramal dengan
tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).3)'Ujub,
masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab
menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam bab
menyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)
Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:
1)Seseorang
sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin
menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan
tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului
salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat,
memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual
beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu
semua tidak ia dapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam
hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia
mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.
2)Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.
Syaikhul
Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau
berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid Al Ghazali ketika sampai kepadanya,
bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama
empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut
melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid: "Maka aku berbuat ikhlas
selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu
kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata:
"Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu
itu bukan karena Allah semata.
Kemudian Ibnu Taymiyah berkata:
"Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu dan
hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu
bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena
Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat
ikhlas karena Allah,maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan.
Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja,
sedang tujuannya adalah selain Allah.
Yaitu apa yang
diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat
tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan
dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut
menganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan
itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya'
yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus
shaleh.
Cara-cara mengobati riya'
1)Harus menyadari
sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas
seorang hamba adalah mengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap
kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.
2)Menyaksikan
pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya
diukur dengan kehendak Allah bukan kemauan diri sendiri.
3)Selalu
melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian
dari amal yang telah kita berikan untuk hawa nafsu dan syetan. Karena
ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya namun
sangat minim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya untuk
Allah), kepada hawa nafsu atau syetan.
3) Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.
4)Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.
4)
Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail,
shadaqah sirri, menagis karena Allah dikala menyandiri dan sebagainya.
5) Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid dan mengamalkannya.
6)Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.
7) Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.
8) Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.
9)
Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan
riya'dengan membaca doa:"Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat
syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang
tidak ku ketahui."
Wallahu a'lam bis shawab.
KEKUATAN DALAM KETENANGAN
Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi
petunjuk orang-orang yang taubat kepada-Nya. Yaitu orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah.
Sadarilah hanya dengan mengingat Allah hati akan tenang. (Ar-Ra’d: 27-28).
Ayat di atas dipetik dari surat Ar-Ra’d yang berarti guruh. Disebut
surat Ar-Ra’d karena ada bagian yang menyinggung tentang guruh, yakni
pada ayat ke-13 yang berbunyi, Dan guruh itu bertasbih sambil memuji
Allah. Ayat ini memberi pelajaran kepada manusia bahwa guruh pun
bertasbih, apalagi semestinya manusia.
Sedangkan ayat ke-27 dan 28 yang tertera di atas menjelaskan bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) akan memberi petunjuk dan bimbingan kepada
orang-orang yang bertaubat kepada-Nya. Artinya, orang-orang yang sadar
lalu kembali ke jalan Allah; orang-orang yang telah menyesali
perbuatan-perbuatan tercela yang pernah dilakukannya.
Dijelaskan dalam ayat ke-28 bahwa, “Yaitu orang-orang yang beriman.”
Artinya, dengan bertaubat itu berarti kembali memasuki kancah
keberimanan atau kembali melakukan kewajiban-kewajiban sebagai orang
beriman. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak mengingat Allah sehingga
tidak mudah lagi terpeleset dari jalan petunjuk. Dalam keadaan demikian
itu, jiwanya menjadi tenang dan tenteram, karena memang ada jaminan
dalam lanjutan ayat itu bahwa, “Dengan banyak mengingat Allah hati akan
tenteram.”
Orang yang telah melalui proses ini yaitu menyongsong gerbang taubat
dan memasuki istana iman--lalu memanfaatkan kondisi tersebut untuk
selalu mengingat Allah, maka itulah orang yang telah mendapat
kebahagiaan yang tiada bandingannya. Apalagi dalam kondisi seperti
sekarang ini, ketenangan jiwa sungguh sangat mahal harganya. Bukankah
disekitar kita sekarang penuh dengan hal-hal yang memproduksi
kegelisahan,kecemasan, keputusasaan, keraguan, duka cita, dan lain sebagainya?
Kalau kita tidak memiliki ketenangan jiwa, tidak memiliki pegangan kuat, dan
tidak mempunyai pandangan, niscaya mudah terombang-ambing.
Ketenangan jiwa membuat orang dapat hidup tenang. Inilah yang sangat
diperlukan pada situasi seperti sekarang, di tengah-tengah gelombang
kehidupan yang serba tidak menentu. Apalagi bagi seorang pemimpin yang
bercita-cita mewujudkan kecerah-ceriaan masa depan bagi negeri yang
sedang terpuruk ini. Hanya orang yang memiliki ketenangan jiwa yang
dibalut oleh iman dan dzikrullah yang dapat berpikir tenang;
berpandangan jitu, dan mampu membuat program yang mengenai sasaran
untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Sekarang ini kita bukannya miskin manusia intelek, tetapi ibu-ibu di
negeri ini tidak subur rahimnya untuk melahirkan insan-insan yang
memiliki jiwa dan pikiran tenang. Yaitu insan yang tidak terkontaminasi
dengan virus kegelisahan, kecemasan, keputusasaan, dan keraguan.
Hendaknya secuil ketenangan jiwa yang telah kita peroleh bisa
senantiasa dipelihara, kita pupuk dengan shalat, shiyam, baik yang fardhu atau
yang sunnah, infaq, dzikir, dan tadabbur (telaah) Al-Qur'an. Insya Allah
semua itu akan menghidupkan hati, menenangkan jiwa, membuka pikiran,
dan meluruskan langkah. Lebih jauh dari itu, akan mengantar kita agar dapat
terhindar dari kesulitan di akhirat, yang sekaligus akan mempermudah
kita dalam urusan dunia ini.
Sekarang ini kita tidak mengharapkan lahirnya pakar manajemen yang
telah menghabiskan separoh umurnya belajar dari satu negara ke negara yang
lain, namun kering dari nilai-nilai wahyu. Tapi yang diharapkan adalah
yang tercerahkan dengan wahyu dan kaya dengan bahan perbandingan.
Kita bisa belajar dari sejarah. Kaisar Romawi, Heraclius, beberapa saat
setelah pasukannya dipukul mundur oleh tentara Muslim, dia bertanya
kepada pembesar-pembesarnya, “Kabarkanlah kepadaku tentang kaum
Muslimin yang memerangi kalian itu. Bukankah mereka juga manusia seperti
kalian?”
Pembesarnya menjawab, “Benar.”
Kaisar bertanya lagi, “Lalu mana yang lebih banyak jumlahnya, kalian
atau mereka?”
Para pembesar menjawab, “Jumlah kami lebih banyak.”
Kaisar melanjutkan pertanyaannya, “Kenapa kalian bisa kalah?”
Seorang tua di kalangan pembesar menjawab, “Karena tentara Islam shalat
di malam hari dan berpuasa di siang hari, mereka menepati janji,
melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar, saling membagi, tidak saling
mementingkan diri. Yang menyebabkan kita kalah karena kita gemar minum
khamr, berzina, suka melakukan yang haram, terbiasa melanggar janji,
mudah marah, berbuat zhalim, memerintah dengan kekerasan, mencegah dari
hal yang diridhai Allah, dan kita banyak berbuat kerusakan di muka bumi
ini.”
Kaisar Heraclius berkata, “Lewat keteranganmu ini membuat aku yakin
bahwa kita memang pantas dikalahkan oleh mereka, dan mereka akan
merebut dan menguasai tempat berpijak kedua telapak kakiku ini.”
Kita dapat melihat bahwa kemenangan yang dicapai ummat Islam bukan
hanya dengan mengandalkan persenjataan yang lengkap dan jumlah personil yang
banyak, tapi terletak pada ketaatan dan kepatuhan berpegang teguh pada
ajaran yang dianutnya. Dalam kondisi genting pun tetap menjaga moral
dan mematuhi norma-norma yang telah digariskan untuknya. Mereka memiliki
ketenangan jiwa dan pikiran jernih, baik panglima perangnya ataupun
perajurit-prajuritnya. Mereka mampu menahan diri melihat lawannya
berpesta khamar dan melampiaskan nafsu seksnya. Kaum Muslimin sadar
bahwa dalam ketenangan dan pengendalian dirilah terletak potensi maha
raksasa untuk mencapai kemenangan.
Wallahu a’lam.* (Manshur Salbu/Hidayatullah)
15 Petunjuk Menguatkan Iman
Tak seorangpun bisa menjamin dirinya akan tetap terus berada dalam
keimanan sehingga meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Untuk itu
kita perlu merawat bahkan senantiasa berusaha menguatkan keimanan kita.
Tulisan ini insya'allah membantu kita dalam usaha mulia itu.
Tsabat
(kekuatan keteguhan iman) adalah tuntutan asasi setiap muslim. Karena
itu tema ini penting dibahas. Ada beberapa alasan mengapa tema ini
begitu sangat perlu mendapat perhatian serius.
Pertama, pada
zaman ini kaum muslimin hidup di tengah berbagai macam fitnah, syahwat
dan syubhat dan hal-hal itu sangat berpotensi menggerogoti iman. Maka
kekuatan iman merupakan kebutuhan muthlak, bahkan lebih dibutuhkan
dibanding pada masa generasi sahabat, karena kerusakan manusia di segala
bidang telah menjadi fenomena umum.
Kedua, banyak terjadi
pemurtadan dan konversi (perpindahan) agama. Jika pada awal kemerdekaan
jumlah umat Islam di Indonesia mencapai 90 % maka saat ini jumlah itu
telah berkurang hampir 5%. Ini tentu menimbulkan kekhawatiran mendalam.
Untuk menga-tasinya diperlukan jalan keluar, sehingga setiap muslim
tetap memiliki kekuatan iman.
Ketiga, pembahasan masalah tsabat
berkait erat dengan masalah hati. Padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda: "Dinamakan hati karena ia (selalu) berbolak-balik.
Perumpamaan hati itu bagaikan bulu yang ada di pucuk pohon yang
diombang-ambingkan oleh angin." (HR. Ahmad, Shahihul Jami' no. 2361)
Maka, mengukuhkan hati yang senantiasa berbolak-balik itu dibutuhkan usaha keras, agar hati tetap teguh dalam keimanan.
Dan
sungguh Allah Maha Rahman dan Rahim kepada hambaNya. Melalui Al Qur'an
dan Sunnah RasulNya Ia memberikan petunjuk bagaimana cara mencapai
tsabat. Berikut ini penjelasan 15 petunjuk berdasarkan Al Qur'an dan
Sunnah untuk memelihara kekuatan dan keteguhan iman kita.
Akrab dengan Al Qur'an
Al
Qur'an merupakan petunjuk utama mencapai tsabat. Al Qur'an adalah tali
penghubung yang amat kokoh antara hamba dengan Rabbnya. Siapa akrab dan
berpegang teguh dengan Al Qur'an niscaya Allah memeliharanya; siapa
mengikuti Al Qur'an, niscaya Allah menyelamatkannya; dan siapa yang
mendakwahkan Al Qur'an, niscaya Allah menunjukinya ke jalan yang lurus.
Dalam hal ini Allah berfirman: "Orang-orang kafir berkata, mengapa Al
Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah
supaya Kami teguhkan hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara
tartil (teratur dan benar)." (Al Furqan: 32-33)
Beberapa alasan
mengapa Al Qur'an dijadikan sebagai sumber utama mencapai tsabat adalah:
Pertama, Al Qur'an menanamkan keimanan dan mensucikan jiwa seseorang,
karena melalui Al Qur'an, hubungan kepada Allah menjadi sangat dekat.
Kedua, ayat-ayat Al Qur'an diturunkan sebagai penentram hati, menjadi
penyejuk dan penyelamat hati orang beriman sekaligus benteng dari
hempasan berbagai badai fitnah. Ketiga, Al Qur'an menunjukkan konsepsi
serta nilai-nilai yang dijamin kebenarannya. Karena itu, seorang mukmin
akan menjadikan Al Qur'an sebagai ukuran kebenaran. Keempat, Al Qur'an
menjawab berbagai tuduhan orang-orang kafir, munafik dan musuh Islam
lainnya. Seperti ketika orang-orang musyrik berkata, Muhammad
ditinggalkan Rabbnya, maka turunlah ayat: "Rabbmu tidaklah meninggalkan
kamu dan tidak (pula) benci kepadamu." (Adl Dluha: 3) (Syarh
Nawawi,12/156) Orang yang akrab dengan Al Qur'an akan menyandarkan semua
perihalnya kepada Al Qur'an dan tidak kepada perkataan manusia. Maka,
betapa agung sekiranya penuntut ilmu dalam segala disiplinnya menjadikan
Al Qur'an berikut tafsirnya sebagai obyek utama kegiatannya menuntut
ilmu.
Iltizam (komitmen) terhadap syari'at Allah
Allah
berfirman: "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akherat. Dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zhalim. Dan Allah berbuat apa saja yang Ia
kehendaki." (Ibrahim: 27)
Di ayat lain Allah menjelaskan jalan
mencapai tsabat yang dimaksud. "Dan sesungguhnya kalau mereka
melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal
demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan (hati mereka di
atas kebenaran)." (An Nisa': 66)
Karena itu, menjelaskan surat
Ibrahim di atas Qatadah berkata:-"Adapun dalam kehidupan di dunia, Allah
meneguhkan orang-orang beriman dengan kebaikan dan amal shalih sedang
yang dimaksud dengan kehidupan akherat adalah alam kubur." (Ibnu Katsir:
IV/421)
Maka jelas sekali, sangat mustahil orang-orang yang
malas berbuat kebaikan dan amal shaleh diharapkan memiliki keteguhan
iman. Karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan
amal shaleh secara kontinyu, sekalipun amalan itu sedikit, demikian
pula halnya dengan para sahabat. Komitmen untuk senantiasa menjalankan
syariat Islam akan membentuk kepribadian yang tangguh, dan iman pun
menjadi teguh.
Mempelajari Kisah Para Nabi
Mempelajari
kisah dan sejarah itu penting. Apatah lagi sejarah para Nabi. Ia bahkan
bisa menguatkan iman seseorang. Secara khusus Allah menyinggung masalah
ini dalam firman-Nya: "Dan Kami ceritakan kepadamu kisah-kisah para
rasul agar dengannya Kami teguhkan hatimu dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran , pengajaran dan peringatan bagi orang-orang
yang beriman." (Hud: 120)
Sebagai contoh, marilah kita renungkan
kisah Ibrahim Alaihis Salam yang diberitakan dalam Al Qur'an: "Mereka
berkata, bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu
benar-benar hendak bertindak. Kami berfirman, hai api menjadi dinginlah
dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar
terhadap Ibrahim maka Kami jadikan mereka itu orang-orang yang paling
merugi." (Al Anbiya': 68-70)
Bukankah hati kita akan bergetar
saat merenungi kronologi pembakaran nabi Ibrahim sehingga ia selamat
atas izin Allah? Dan bukankah dengan demikian akan membuahkan keteguh-an
iman kita? Lalu, kisah nabi Musa Alaihis Salam yang tegar menghadapi
kezhaliman Fir'aun demi menegakkan agama Allah. Bukankah kisah itu
mengingatkan kekerdilan jiwa kita dibanding dengan nabi Musa?
Tak
sedikit umat Islam sudah merasa tak punya jalan karena kondisi ekonomi
yang kurang menguntungkan misalnya, sehingga mau saja saat diajak kolusi
dan berbagai praktek syubhat lain oleh koleganya. Lalu mereka
mencari-cari alasan mengabsahkan tindakannya yang keliru. Dan bukankah
karena takut gertakan penguasa yang tiranik lalu banyak di antara umat
Islam (termasuk ulamanya) yang menjadi tuli, buta dan bisu sehingga
tidak melakukan amar ma'ruf nahi mungkar? Bahkan sebaliknya malah
bergabung dan bersekongkol serta melegitimasi status quo (menganggap
yang ada sudah baik dan tak perlu diubah).
Bukankah dengan
mempelajari kisah-kisah Nabi yang penuh dengan perjuangan menegakkan dan
meneguhkan iman itu kita menjadi malu kepada diri sendiri dan kepada
Allah? Kita mengharap Surga tetapi banyak hal dari perilaku kita yang
menjauhinya. Mudah-mudahan Allah menunjuki kita ke jalan yang
diridhaiNya.
Berdo'a
Di antara sifat hamba-hamba Allah
yang beriman adalah mereka memohon kepada Allah agar diberi keteguhan
iman, seperti do'a yang tertulis dalam firmanNya: "Ya Rabb, janganlah
Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri
petunjuk kepada kami." (Ali Imran: 8)
"Ya Rabb kami, berilah
kesabaran atas diri kami dan teguhkanlah pendirian kami serta tolonglah
kami dari orang-orang kafir." (Al Baqarah: 250)
Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya seluruh hati Bani
Adam terdapat di antara dua jari dari jemari Ar Rahman (Allah), bagaikan
satu hati yang dapat Dia palingkan ke mana saja Dia kehendaki." (HR.
Muslim dan Ahmad)
Agar hati tetap teguh maka Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam banyak memanjatkan do'a berikut ini
terutama pada waktu duduk takhiyat akhir dalam shalat.
"Wahai (Allah) yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada din-Mu." (HR. Turmudzi)
Banyak
lagi do'a-do'a lain tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam agar
kita mendapat keteguhan iman. Mudah-mudahan kita senantiasa tergerak
hati untuk berdo'a utamanya agar iman kita diteguhkan saat menghadapi
berbagai ujian kehidupan.
Dzikir kepada Allah
Dzikir
kepada Allah merupakan amalan yang paling ampuh untuk mencapai tsabat.
Karena pentingnya amalan dzikir maka Allah memadukan antara dzikir dan
jihad, sebagaimana tersebut dalam firmanNya: "Hai orang-orang yang
beriman, bila kamu memerangi pasukan (musuh) maka berteguh-hatilah kamu
dan dzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya." (Al Anfal: 45)
Dalam ayat tersebut, Allah menjadikan dzikrullah sebagai amalan yang amat baik untuk mencapai tsabat dalam jihad.
Ingatlah
Yusuf Alaihis Salam ! Dengan apa ia memohon bantuan untuk mencapai
tsabat ketika menghadapi fitnah rayuan seorang wanita cantik dan
berkedudukan tinggi? Bukankah dia berlindung dengan kalimat ma'adzallah
(aku berlindung kepada Allah), lantas gejolak syahwatnya reda?
Demikianlah pengaruh dzikrullah dalam memberikan keteguhan iman kepada orang-orang yang beriman.
(Bersambung...)
Menempuh Jalan Lurus
Allah
berfirman: "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang
lurus, maka ikutilah dia dan jangan mengikuti jalan-jalan (lain)
sehingga menceraiberaikan kamu dari jalanNya." (Al An'am: 153)
Dan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mensinyalir bahwa umatnya bakal
terpecah-belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk Neraka kecuali hanya
satu golongan yang selamat (HR. Ahmad, hasan)
Dari sini kita
mengetahui, tidak setiap orang yang mengaku muslim mesti berada di jalan
yang benar. Rentang waktu 14 abad dari datangnya Islam cukup banyak
membuat terkotak-kotaknya pemahaman keagamaan. Lalu, jalan manakah yang
selamat dan benar itu? Dan, pemahaman siapakah yang mesti kita ikuti
dalam praktek keberaga-maan kita? Berdasarkan banyak keterangan ayat dan
hadits , jalan yang benar dan selamat itu adalah jalan Allah dan
RasulNya. Sedangkan pemahaman agama yang autentik kebenarannya adalah
pemahaman berdasarkan keterangan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam
kepada para sahabatnya. (HR. Turmudzi, hasan).
Itulah yang mesti
kita ikuti, tidak penafsiran-penafsiran agama berdasarkan akal manusia
yang tingkat kedalaman dan kecerdasannya majemuk dan terbatas. Tradisi
pemahaman itu selanjutnya dirawat oleh para tabi'in dan para imam
shalihin. Paham keagamaan inilah yang dalam terminologi (istilah) Islam
selanjutnya dikenal dengan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah . Atau sebagian
menyebutnya dengan pemahaman para salafus shalih.
Orang yang
telah mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jamaah akan tegar dalam
menghadapi berbagai keanekaragaman paham, sebab mereka telah yakin akan
kebenaran yang diikutinya. Berbeda dengan orang yang berada di luar
Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka akan senantiasa bingung dan ragu.
Berpindah dari suatu lingkungan sesat ke lingkungan bid'ah, dari
filsafat ke ilmu kalam, dari mu'tazilah ke ahli tahrif, dari ahli ta'wil
ke murji'ah, dari thariqat yang satu ke thariqat yang lain dan
seterusnya. Di sinilah pentingnya kita berpegang teguh dengan manhaj
(jalan) yang benar sehingga iman kita akan tetap kuat dalam situasi
apapun.
Menjalani Tarbiyah
Tarbiyah (pendidikan) yang semestinya dilalui oleh setiap muslim cukup banyak. Paling tidak ada empat macam :
§ Tarbiyah Imaniyah
yaitu
pendidikan untuk menghidupkan hati agar memiliki rasa khauf (takut),
raja' (pengharapan) dan mahabbah (kecintaan) kepada Allah serta untuk
menghilangkan kekeringan hati yang disebabkan oleh jauhnya dari Al
Qur'an dan Sunnah.
§ Tarbiyah Ilmiyah
yaitu pendidikan keilmuan berdasarkan dalil yang benar dan menghindari taqlid buta yang tercela.
§ Tarbiyah Wa'iyah
yaitu
pendidikan untuk mempelajari siasat orang-orang jahat, langkah dan
strategi musuh Islam serta fakta dari berbagai peristiwa yang terjadi
berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar.
§ Tarbiyah Mutadarrijah
yaitu
pendidikan bertahap, yang membimbing seorang muslim setingkat demi
setingkat menuju kesempurnaannya, dengan program dan perencanaan yang
matang. Bukan tarbiyah yang dilakukan dengan terburu-buru dan asal
jalan.
Itulah beberapa tarbiyah yang diberikan Rasul kepada para
sahabatnya. Berbagai tarbiyah itu menjadikan para sahabat memiliki iman
baja, bahkan membentuk mereka menjadi generasi terbaik sepanjang masa.
Meyakini Jalan yang Ditempuh
Tak
dipungkiri bahwa seorang muslim yang bertambah keyakinannya terhadap
jalan yang ditempuh yaitu Ahlus Sunnah wal Jamaah maka bertambah pula
tsabat (keteguhan iman) nya. Adapun di antara usaha yang dapat kita
lakukan untuk mencapai keyakinan kokoh terhadap jalan hidup yang kita
tempuh adalah:
Pertama, kita harus yakin bahwa jalan lurus yang
kita tempuh itu adalah jalan para nabi, shiddiqien, ulama, syuhada dan
orang-orang shalih.
Kedua, kita harus merasa sebagai orang-orang
terpilih karena kebenaran yang kita pegang, sebagai-mana firman Allah:
"Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hambaNya yang Ia
pilih." (QS. 27: 59)
Bagaimana perasaan kita seandainya Allah
menciptakan kita sebagai benda mati, binatang, orang kafir, penyeru
bid'ah, orang fasik, orang Islam yang tidak mau berdakwah atau da'i yang
sesat? Mudah-mudahan kita berada dalam keyakinan yang benar yakni
sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sesungguhnya.
Berdakwah
Jika
tidak digerakkan, jiwa seseorang tentu akan rusak. Untuk menggerakkan
jiwa maka perlu dicarikan medan yang tepat. Di antara medan pergerakan
yang paling agung adalah berdakwah. Dan berdakwah merupakan tugas para
rasul untuk membebaskan manusia dari adzab Allah.
Maka tidak
benar jika dikatakan, fulan itu tidak ada perubahan. Jiwa manusia, bila
tidak disibukkan oleh ketaatan maka dapat dipastikan akan disibukkan
oleh kemaksiatan. Sebab, iman itu bisa bertambah dan berkurang.
Jika
seorang da'i menghadapi berbagai tantangan dari ahlul bathil dalam
perjalanan dakwahnya, tetapi ia tetap terus berdakwah maka Allah akan
semakin menambah dan mengokohkan keimanannya.
Dekat dengan Ulama
Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Di antara manusia ada
orang-orang yang menjadi kunci kebaikan dan penutup kejahatan." (HR.
Ibnu Majah, no. 237, hasan)
Senantiasa bergaul dengan ulama akan
semakin menguatkan iman seseorang. Tercatat dalam sejarah bahwa
berbagai fitnah telah terjadi dan menimpa kaum muslimin, lalu Allah
meneguhkan iman kaum muslimin melalui ulama. Di antaranya seperti
diutarakan Ali bin Al Madini Rahimahullah: "Di hari riddah (pemurtadan)
Allah telah memuliakan din ini dengan Abu Bakar dan di hari mihnah
(ujian) dengan Imam Ahmad."
Bila mengalami kegundahan dan problem
yang dahsyat Ibnul Qayyim mendatangi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah untuk
mendengarkan berbagai nasehatnya. Sertamerta kegundahannya pun hilang
berganti dengan kelapangan dan keteguhan iman ( Al Wabilush Shaib, hal.
97).
Meyakini Pertolongan Allah
Mungkin pernah terjadi,
seseorang tertimpa musibah dan meminta pertolongan Allah, tetapi
pertolongan yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung datang, bahkan yang
dialaminya hanya bencana dan ujian. Dalam keadaan seperti ini manusia
banyak membutuh-kan tsabat agar tidak berputus asa. Allah berfirman: Dan
berapa banyak nabi yang berperang yang diikuti oleh sejumlah besar
pengikutnya yang bertaqwa, mereka tidak menjadi lemah karena bencana
yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah
(kepada musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada
do'a mereka selain ucapan, Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan
tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami. Tetapkanlah
pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. Karena itu
Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di
akherat. " (Ali Imran: 146-148)
Mengetahui Hakekat Kebatilan
Allah
berfirman: "Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan
orang-orang kafir yang bergerak dalam negeri ." (Ali Imran: 196)
"Dan
demikianlah Kami terang-kan ayat-ayat Al Qur'an (supaya jelas jalan
orang-orang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang
berbuat jahat (musuh-musuh Islam)." (Al An'am: 55)
"Dan
Katakanlah, yang benar telah datang dan yang batil telah sirna,
sesungguhnya yang batil itu pastilah lenyap." (Al Isra': 81)
Berbagai
keterangan ayat di atas sungguh menentramkan hati setiap orang beriman.
Mengetahui bahwa kebatilan akan sirna dan kebenaran akan menang akan
mengukuhkan seseorang untuk tetap teguh berada dalam keimanannya.
Memiliki Akhlak Pendukung Tsabat
Akhlak
pendukung tsabat yang utama adalah sabar. Sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam:"Tidak ada suatu pemberian yang diberikan
kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabar-an."
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
Tanpa kesabaran iman yang kita
miliki akan mudah terombang-ambingkan oleh berbagai musibah dan ujian.
Karena itu, sabar termasuk senjata utama mencapai tsabat.
Nasehat Orang Shalih
Nasehat
para shalihin sungguh amat penting artinya bagi keteguhan iman. Karena
itu, dalam segala tindakan yang akan kita lakukan hendaklah kita
sering-sering meminta nasehat mereka. Kita perlu meminta nasehat
orang-orang shalih saat mengalami berbagai ujian, saat diberi jabatan,
saat mendapat rezki yang banyak dan lain-lain.
Bahkan seorang
sekaliber Imam Ahmad pun, beliau masih perlu mendapat nasehat saat
menghadapi ujian berat oleh intimidasi penguasa yang tiranik. Bagaimana
pula halnya dengan kita?
Merenungi Nikmatnya Surga
Surga adalah tempat yang penuh dengan kenikmatan, kegembiraan dan suka-cita. Ke sanalah tujuan pengembaraan kaum muslimin.
Orang
yang meyakini adanya pahala dan Surga niscaya akan mudah menghadapi
berbagai kesulitan. Mudah pula baginya untuk tetap tsabat dalam
keteguhan dan kekuatan imannya.
Dalam meneguhkan iman para
sahabat, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sering mengingatkan
mereka dengan kenikmatan Surga. Ketika melewati Yasir, istri dan anaknya
Ammar yang sedang disiksa oleh kaum musyrikin beliau mengatakan:
"Bersabarlah wahai keluarga Yasir, tempat kalian nanti adalah Surga".
(HR. Al Hakim/III/383, hasan shahih)
Mudah-mudahan kita bisa
merawat dan terus-menerus meneguhkan keimanan kita sehingga Allah
menjadikan kita khusnul khatimah. Amin.
6 Nasehat Imam
1. Agama hanya dapat dirasakan oleh mereka yang menegakkan dalam dirinya.
2. Kabahagiaan hanya akan dirasakan oleh mereka yang membela keyakinan, kebenaran dan keadilan.
3.
Kemenangan dan kejayaan hakiki hanya akan diberikan kepada para
pejuang yang rela berkorban, kuat menahan penderitaan dan kepapaan.
4. Kesabaran dan ketahanan berjuang hanya akan diberikan kepada mukmin yang mendekatkan diri kepada allah swt.
5. Tegaklah dengan keyakinan dan perjuangan karena makna dan arti hidup terletak pada keyakinan perjuangan.
6. Belajar memberdayakan diri guna kepentingan cita dan agama
ANEKA UJIAN DI JALAN DAKWAH
Mengenal tabiat jalan dakwah mutlak diperlukan oleh para du’at. Sebab
hal itu merupakan salah satu faktor pendukung kesiapan mental saat
berhadapan dengan berbagai rintangan dan ujian. Mengenal tabiat jalan
dakwah juga akan membantu seseorang untuk menentukan perbekalan apa yang
perlu dipersiapkan untuk menempuhnya.
Jalan dakwah memang
merupakan jalan yang penuh ujian, rintangan dan tantangan. Betapa tidak.
Sebagai manusia saja, tanpa dikaitkan dengan urusan keimanan tidak pula
dengan urusan dakwah, seseorang pasti berhadapan dengan ujian dan
tantangan, apalagi sebagai manusia mukmin. “Apakah manusia mengira bahwa
mereka akan dibiarkan hanya karena mereka mengatakan kami beriman,
padahal mereka belum diuji?” (QS. 29:1-2). Apalagi bila orang mukmin itu
berdakwah. Maka ujiannya pun akan lebih berat lagi. Sebab selain ujian
atas keimanannya Allah juga akan mengujinya dalam hal konsistensi di
jalan dakwah.
Secara garis besar ujian dakwah dapat dibagi dua:
ujian berupa kesenangan, kebahagiaan, dan kenikmatan serta ujian dalam
bentuk penderitaan, kenestapaan, dan kesulitan. Allah swt. telah
mengingatkan hal ini dalam ayat-Nya, “Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. 21:35)
Contoh konkrit
kedua bentuk ujian ini tertera dalam firman-Nya, “Dan ingatlah (hai para
muhajirin), ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di bumi
(Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah
memberi kamu tempat menetap (Medinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan
pertolonganNya dan diberi-Nya kamu rezki dari yang baik-baik agar kamu
bersyukur.” (QS. 8:26)
Pada ayat ini Allah swt. menggambarkan
bahwa kaum Muslimin semula diuji dengan intimidasi yang dilakukan oleh
orang-orang kafir. Lalu, Allah menolong dan memberikan kemenangan kepada
mereka. Allah juga memberi mereka rezeki. Kemenangan dan rezeki itu
adalah ujian untuk menakar kemampuan syukur kaum Muslimin.
Banyak bentuk rintangan dan ujian yang di hadapi seorang da’iyah, diantaranya adalah:
Rongrongan keluarga
Anak,
isteri, suami, ayah atau ibu bisa menjadi aspirasi atau penambah
semangat berdakwah. Tetapi di saat yang sama mereka juga dapat menjadi
batu sandungan bagi seorang da’i. Mereka berpotensi memalingkan garis
dakwah, mengurangi intensitas interaksi seseorang dengan dakwah atau
bahkan menghentikan sama sekali gerak dakwah seorang da’i.
Bisikan,
tuntutan, atau ambisi-ambisi keluarga boleh jadi menyebabkan seseorang
berat kaki untuk melangkah kaki untuk melaksanakan program-program
dakwah. Begitu juga keadaan keluarga baik dalam sisi ekonomi, kesehatan,
dan sebagainya dapat juga menjadi faktor penghambat keterlibatan
seseorang dalam aktifitas dakwah.
Pada saat perang Tabuk, ada
sahabat yang nyaris tidak turut serta dalam jihad karena ingin menikmati
kehangatan bersama isterinya. Akan tetapi ia kemudian tersadar akan
kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh Rasulullah saw. dan para
sahabatnya dalam perjuangan. Untuk Allah swt. mengingatkan kita:
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. 64:14-15)
Kedengkian sesama muslim
“Batu
sandungan” juga bisa datang dari sesama Muslim atau bahkan da’i.
Bentuknya, semisal sikap iri dan dengki atas keberhasilan yang dicapai
oleh seorang da’i. Kata ‘batu sandungan’ sengaja saya beri tanda kutip
karena hal itu tidak selalu berakibat buruk bagi orang yang didengki.
Sebaliknya bagi si pendengki belum tentu menjadi hal yang produktif dan
mengantarkan kepada apa yang menjadi keinginannya.
Ada sebuah
hadits, yang meskipun saya belum dapat memastikan kesahihannya, namun
maknanyanya tidak keluar dari apa yang disamapaikan Quran dan Sunnah,
yang mengatakan: “Seorang mukmin berada di antara lima ujian berat:
sesama mukmin yang iri kepadanya; munafik yang membencinya; kafir yang
terus memeranginya; hawa nafsu yang terus merintanginya; dan syetan yang
menyesatkannya.” (Al-Firdaus Bima’tsuril-Khitab)
Hadangan, kekejian, dan makar orang-orang Kafir
Sejak
awal sejarah dakwah yang digulirkan oleh nabi-nabi sebelum Rasulullah
saw., orang-orang kafir selalu berdiri sebagai penghadang dakwah. Untuk
menghentikan laju dakwah, mereka melakukan berbagai upaya dari mulai
rayuan hingga pembunuhan. Dalam Quran Allah swt. banyak mengingatkan
kita, para da’i tentang makar orang-orang kafir ini. Salah satu
hikmahnya adalah agar kita senantiasa memiliki kesiapan mental saat
menghadapinya. Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang
pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri
itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk
menyampaikannya". (QS. 34:34)
Di ayat yang lain dinyatakan,
Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu,
sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan
merajam kamu dan kamu pasti akan mendapatkan siksa yang pedih dari
kam.i" (QS. 36:18)
Khusus untuk Rasulullah saw., Allah swt.
menggambarkan ujian dalam bentuk makar orang-orang kafir dalam
firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy)
memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu,
atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah
menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.”
(QS. 8:30)
Allah juga swt. menegaskan bahwa orang-orang kafir tidak akan pernah berhenti memusuhi dakwah. Firman-Nya:
“Mereka
tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan
kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan
di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (QS. 2:217)
Biasa juga orang kafir membuat jebakan
yang dikamuflase dengan kepentingan atau keuntungan dakwah. Ini pernah
dialami oleh Rasulullah saw. sendiri. Orang-orang kafir Quraisy
menawarkan kepada Rasulullah saw. agar beliau bersedia mengusap-usap
patung-patung mereka. Mereka berjanji jika beliau berkenan melakukannya
mereka akan masuk Islam dan mengikuti Rasulullah saw. Hampir saja beliau
terpengaruh dan mengikuti tawaran mereka, jika saja Allah swt. tidak
segera mengingarkan beliau dengan firman-Nya:
“Dan sesungguhnya
mereka hampir mamalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan
kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang
setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu
hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. kalau terjadi demikian,
benar-benarlah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di
dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan
kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.” (QS.
17:73-75)
Kekejaman Penguasa Zalim.
Penguasa zalim juga
memiliki andil dalam merintangi dakwah. Baik dia penguasa kafir maupun
penguasa yang mengaku Muslim. Dalam sejarah tercatat para ulama yang
menjadi korban kekejaman penguasa zalim. Sekedar menyebut contoh, Sa’id
Bin Zubair sang ulama tabi’in, Imam Ahmad, Imam Ibnu Taimiyyah. Dan
tidak perlu jauh-jauh, di negeri kita sendiri hal itu dapat kita
saksikan dan rasakan. Di tahun 80-an tidak sedikit para da’i yang
dijebloskan ke bui dan diintimidasi saat mengingatkan khalayak terhadap
bahaya kristenisasi atau saat menentang cara-cara paksa program Keluarga
Berencana. Bahkan hingga hari ini, masih terjadi penangkapan terhadap
da’i yang oleh sebagian kalangan dinamakan aksi pemberantasan terorisme.
Tentu
saja masih banyak jenis dan bentuk rintangan dan ujian di jalan dakwah.
Karenanya, ingin berdakwah tapi tidak mau berhadapan dengan kesulitan?
Mimpi ‘kali ye? Allahu a’lam.
ADAB PENUNTUT ILMU
Menuntut ilmu adalah satu keharusan bagi kita kaum muslimin. Banyak
sekali dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, para penuntut ilmu dan
yang mengajarkannya.
Adab-adab dalam menuntut ilmu yang harus kita
ketahui agar ilmu yang kita tuntut berfaidah bagi kita dan orang yang
ada di sekitar kita sangatlah banyak. Adab-adab tersebut di antaranya
adalah:
1. Ikhlas karena Allah I .
Hendaknya niat kita
dalam menuntut ilmu adalah kerena Allah I dan untuk negeri akhirat.
Apabila seseorang menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan gelar agar bisa
mendapatkan kedudukan yang tinggi atau ingin menjadi orang yang
terpandang atau niat yang sejenisnya, maka Rasulullah e telah memberi
peringatan tentang hal ini dalam sabdanya e :
"Barangsiapa yang
menuntut ilmu yang pelajari hanya karena Allah I sedang ia tidak
menuntutnya kecuali untuk mendapatkan mata-benda dunia, ia tidak akan
mendapatkan bau sorga pada hari kiamat".( HR: Ahmad, Abu,Daud dan Ibnu
Majah
Tetapi kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya ingin
mendapatkan syahadah (MA atau Doktor, misalnya ) bukan karena ingin
mendapatkan dunia, tetapi karena sudah menjadi peraturan yang tidak
tertulis kalau seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi,
segala ucapannya menjadi lebih didengarkan orang dalam menyampaikan ilmu
atau dalam mengajar. Niat ini - insya Allah - termasuk niat yang benar.
2.Untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.
Semua
manusia pada mulanya adalah bodoh. Kita berniat untuk meng-hilangkan
kebodohan dari diri kita, setelah kita menjadi orang yang memiliki ilmu
kita harus mengajarkannya kepada orang lain untuk menghilang kebodohan
dari diri mereka, dan tentu saja mengajarkan kepada orang lain itu
dengan berbagai cara agar orang lain dapat mengambil faidah dari ilmu
kita.
Apakah disyaratkan untuk memberi mamfaat pada orang lain
itu kita duduk dimasjid dan mengadakan satu pengajian ataukah kita
memberi mamfa'at pada orang lain dengan ilmu itu pada setiap saat?
Jawaban yang benar adalah yang kedua; karena Rasulullah e bersabda :
"Sampaikanlah dariku walupun cuma satu ayat (HR: Bukhari)
Imam
Ahmad berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya benar.
Para muridnya bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab:
ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.
3. Berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari'at.
Sudah
menjadi keharusan bagi para penuntut ilmu berniat dalam menuntut ilmu
untuk membela syari'at. Karena kedudukan syari'at sama dengan pedang
kalau tidak ada seseorang yang menggunakannya ia tidak berarti apa-apa.
Penuntut ilmu harus membela agamanya dari hal-hal yang menyimpang dari
agama (bid'ah), sebagaimana tuntunan yang diajarkan Rasulullah e. Hal
ini tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu
yang benar, sesuai petunjuk Al-Qor'an dan As-Sunnah.
4. Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat.
Apabila
ada perbedaan pendapat, hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu
dengan lapang dada selama perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan
persoalaan aqidah, karena persoalaan aqidah adalah masalah yang tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan salaf. Berbeda dalam masalah ijtihad,
perbedaan pendapat telah ada sejak zaman shahabat, bahkan pada masa
Rasulullah e masih hidup. Karena itu jangan sampai kita menghina atau
menjelekkan orang lain yang kebetulan berbeda pandapat dengan kita.
5. Mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Termasuk
adab yang tepenting bagi para penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu
yang telah diperoleh, karena amal adalah buah dari ilmu, baik itu
aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Karena orang yang telah memiliki
ilmu adalah seperti orang memiliki senjata. Ilmu atau senjata (pedang)
tidak akan ada gunanya kecuali diamalkan (digunakan).
6. Menghormati para ulama dan memuliakan mereka.
Penuntut
ilmu harus selalu lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat yang
terjadi di kalangan ulama. Jangan sampai ia mengumpat atau mencela ulama
yang kebetulan keliru di dalam memutuskan suatu masalah. Mengumpat
orang biasa saja sudah termasuk dosa besar apalagi kalau orang itu
adalah seorang ulama.
7. Mencari kebenaran dan sabar
Termasuk
adab yang paling penting bagi kita sebagai seorang penuntut ilmu adalah
mencari kebenaran dari ilmu yang telah didapatkan. Mencari kebenaran
dari berita berita yang sampai kepada kita yang menjadi sumber hukum.
Ketika sampai kepada kita sebuah hadits misalnya, kita harus meneliti
lebih dahulu tentang keshahihan hadits tersebut. Kalau sudah kita
temukan bukti bahwa hadits itu adalah shahih, kita berusaha lagi mencari
makna (pengertian ) dari hadits tersebut. Dalam mencari kebenaran ini
kita harus sabar, jangan tergesa-gasa, jangan cepat merasa bosan atau
keluh kesah. Jangan sampai kita mempelajari satu pelajaran
setengah-setengah, belajar satu kitab sebentar lalu ganti lagi dengan
kitab yang lain. Kalau seperti itu kita tidak akan mendapatkan apa dari
yang kita tuntut.
Di samping itu, mencari kebenaran dalam ilmu
sangat penting karena sesungguhnya pembawa berita terkadang punya maksud
yang tidak benar, atau barangkali dia tidak bermaksud jahat namun dia
keliru dalam memahami sebuah dalil.Wallahu 'Alam.
Aqidah Islamiyah
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69)
Pendahuluan
Nilai
suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar
dan bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang
paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang
Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir
meskipun dia Profesor Doktor, pada hakekatnya dia bodoh. Adakah yang
lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?
Allah
menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya
dibanding dengan makhluk / ciptaan lainnya. Kemudian Allah bimbing
mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (Menurut hadits yang disampaikan
Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya menyerukan
kepada Tauhid (dikeluarkan oleh Al-Bukhari di At-Tarikhul Kabir 5/447
dan Ahmad di Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu
Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (dikeluarkan oleh Ibnu
Hibban di Al-Maurid 2085 dan Thabrani di Al-Mu'jamul Kabir 8/139)) agar
mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang
dibawa oleh Sang Rasul. Namun ada yang menerima disebut mu'min ada pula
yang menolaknya disebut kafir serta ada yang ragu-ragu disebut Munafik
yang merupakan bagian dari kekafiran. Begitu pentingnya Aqidah ini
sehingga Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya
selama 13 tahun ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena aqidah
adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia seperti
kepalanya. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus
direhabilitisi adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya
aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia
dan akherat. Dialah kunci menuju surga.
Aqidah secara bahasa
berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah suatu
keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Aqidah menurut
terminologi syara' (agama) yaitu keimanan kepada Allah,
Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Akherat, dan keimanan
kepada takdir Allah baik dan buruknya. Ini disebut Rukun Iman.
Dalam
syariat Islam terdiri dua pangkal utama. Pertama : Aqidah yaitu
keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya
dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas.
Kedua : Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat,
puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Nilai
perbuatan ini baik buruknya atau diterima atau tidaknya bergantung yang
pertama. Makanya syarat diterimanya ibadah itu ada dua, pertama : Ikhlas
karena Allah SWT yaitu berdasarkan aqidah islamiyah yang benar. Kedua :
Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Ini
disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya
ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah SAW tertolak atau
mengikuti Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor manusia,
umpamanya, maka amal tersebut tertolak. Sampai benar-benar memenuhi dua
kriteria itu. Inilah makna yang terkandung dalam Al-Qur'an surah
Al-Kahfi 110 yang artinya : "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah
ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Perkembangan Aqidah
Pada
masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri
karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan
faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita
dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan
keimanan sebelum Al-Qur'an"
Nah, pada masa pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti
kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan
tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin
Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan
timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh
Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh
Shohih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu
Umar karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis
bantahan-bantahan dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan
dengan istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan
yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus
Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau
terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang
berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama sampai
generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW. Ringkasnya :
Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan
ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits,
ahlul sunnah dan salaf.
Bahaya Penyimpangan Pada Aqidah
Penyimpangan
pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh
kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan
yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah
yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit
personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor
diantaranya :
Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar
karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak
jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.
Fanatik
kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah
yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang
keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat
Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka,
"Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak),
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk."
Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang
dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen
Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia
ikut tersesat.
Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan
mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia,
sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat
seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai
penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka
dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya
hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya
Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat
Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq
dan Nasr."
Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam
disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak
jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi
yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan
mereka.
Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak
berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam.
Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya : "Setiap
anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang
meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR: Bukhari).
Apabila
anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh
acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain
sebagainya.
Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang
cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa
diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan
informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun
elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya
secara besar-besaran.
Tidak ada jalan lain untuk menghindar
bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas
adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang
shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang
Khalik demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman
dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati
Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya."
Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang
artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki
maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan."
Faedah Mempelajari Aqidah Islamiyah
Karena
Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya
tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya
manusia, tentu banyak kelemahannya. Makanya seorang mu'min harus yakin
kebenaran Aqidah Islamiyah sebagai poros dari segala pola laku dan
tindakannya yang akan menjamin kebahagiannya dunia akherat. Dan
merupakan keserasian antara ruh dan jasad, antara siang dan malam,
antara bumi dan langit dan antara ibadah dan adat serta antara dunia dan
akherat. Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai Aqidah
Islamiyah adalah :
Membebaskan dirinya dari ubudiyah / penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun duka.
Dia
merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada
kurang rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia
termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah (outer
focus of control).
Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa ,
sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridho terhadap
segala ketentuan Allah.
Aqidah Islamiyah adalah asas persaudaraan
/ ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara miskin dan kaya, antara
pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih
dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya disisi Allah SWT.
Fastabiqul Khairat
"Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di
antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang mendzalimi diri
mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara
mereka ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah, yang
demikian itu adalah karunia yang amat besar." (QS. Fathir:32)
Allah
SWT membagi umat Islam ke dalam tiga bagian. Masing-masing sesuai
dengan kadar perbuatannya. Mereka yang amal buruknya lebih banyak
disebut telah mendzalimi dirinya sendiri. Gambaran mereka disebutkan
oleh Ibnu Taimiyah dalam masalah sholat, seperti orang yang sholatnya
tidak tepat waktu, bahkan sering mengakhirkan sholatnya sampai hampir
masuk waktu sholat lainnya. Kelompok kedua, adalah umat Islam yang
antara amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Disebutkan oleh Ibnu
Taimiyah sebagai orang yang melaksanakan kewajibannya, tanpa
mempedulikan sunnah-sunnah, seperti mereka mengerjakan sholat wajib
tepat waktu dan berjamaah hanya saja tidak menambah dengan sholat-sholat
sunnah. Adapun yang ketiga adalah mereka yang amal baiknya lebih banyak
dari amal buruknya. Mereka disebut telah melaksanakan ajaran Islam
dengan baik pada setiap kesempatan dan mereka inilah yang dinamai
'Saabiqun Lilkhairaat. Permisalannya seperti orang yang sholat wajib
tepat waktu, berjamaah dan menambah dengan sholat-sholat sunnah.
Tentunya kita umat Islam hendaknya berupaya untuk menjadi kelompok
ketiga tersebut agar kualitas umat Islam tidak seperti buih laut.
Kelihatannya mayoritas secara kuantitas, tetapi kualitas pemahaman dan
aplikasi Islamnya sangat rendah.
Maka dari itu marilah kita
memenuhi panggilan Al-Quran 'Fastabiqul Khairaat' (QS. Al-Baqarah:148).
Hal itu berarti kita harus menyingsingkan baju menggunakan setiap
potensi dan peluang untuk kepentingan Islam guna menggapai surga yang
lebarnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi mereka yang bertakwa
(QS. Al-Imran:123)
Rasulullah SAW pernah memberikan tiga buah nasehat kepada kedua
sehabatnya Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman bin Jabal:
“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah
kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya. Dan
pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji.” HR. Tirmidzi
Tiga pesan Rasulullah SAW tersebut layak untuk kita perhatikan karena sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.
1- BERTAQWA DIMANA SAJA
Definisi dari kata taqwa dapat dilihat dari percakapan antara sahabat
Umar dan Ubay bin Ka’ab ra. Suatu ketika sahabat Umar ra bertanya
kepada Ubay bin Ka’ab apakah taqwa itu? Dia menjawab;
“Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab;
“Pernah!” Ubay menyambung,
“Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab;
“Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata;
“Maka demikian pulalah taqwa!”
Sedang menurut Sayyid Qutub dalam tafsirnya—Fi Zhilal al-Qur`an—taqwa
adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus
menerus dan hati-hati terhadap semua duri atau halangan dalam kehidupan.
Kalau ada suatu iklan minuman ringan: “Dimana saja dan kapan saja …”,
maka nasehat Nabi SAW ini menunjukkan bahwa kita harus bertaqwa dimana
saja. Sedang perintah taqwa kapan saja terdapat dalam surat Ali Imron
102:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam”
Jadi dimanapun dan kapanpun kita harus menjaga ketaqwaan kita. Taqwa
dimana saja memang sulit untuk dilakukan dan harus usaha yang dilakukan
harus ekstra keras. Akan sangat mudah ketaqwaan itu diraih ketika kita
bersama orang lain, tetapi bila tidak ada orang lain maka maksiyat dapat
dilaksanakan. Sebagai contoh, ketika kita berkumpul di dalam suatu
majelis zikir, pikiran dan pandangan kita akan terjaga dengan baik.
Tetapi ketika kita berjalan sendirian di suatu tempat perbelanjaan, maka
pikiran dan pandangan kita bisa tidak terjaga. Untuk menjaga ketaqwaan
kita dimanapun saja, maka perlunya kita menyadari akan pengawasan Allah
SWT baik secara langsung maupun melalui malaikat-Nya.
2 KEBAIKAN YANG MENGHAPUSKAN KESALAHAN
Setiap orang selalu melakukan kesalahan. Hari ini mungkin kita sudah
melakukan kesalahan baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari.
Oleh sebab itu, segera setelah kita melaksanakan kesalahan, lakukan
kebaikan. Kebaikan tersebut dapat menghapuskan kesalahan yang telah
dilakukan.
Untuk dosa yang merugikan diri sendiri, maka salah satu cara untuk
menghapusnya adalah dengan bersedekah. Rasulullah SAW bersabda
“sedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api”.
Maka ada orang yang ketika dia sakit maka dia akan memberikan sedekah
agar penyakitnya segera sembuh. Hal ini dikarenakan segala penyakit yang
kita miliki itu adalah karena kesalahan yang kita pernah lakukan.
Sedang dosa yang dilakukan terhadap orang lain maka yang perlu
dilakukan adalah memohon maaf yang bagi beberapa orang sangat sulit
untuk dilakukan. Padahal Rasulullah SAW selalu minta maaf ketika
bersalah bahkan terhadap Ibnu Ummi Maktum beliau memeluknya dengan
hangat seraya berkata “Inilah orangnya, yang membuat aku ditegur oleh
Allah… (QS. Abasa)”. Setelah minta maaf kemudian bawalah sesuatu hadiah
atau makanan kepada orang tersebut, maka kesalahan tersebut insya Allah
akan dihapuskan.
3- AKHLAQ YANG TERPUJI
Akhlaq terpuji adalah keharusan dari setiap muslim. Tidak memiliki
akhlaq tersebut akan dapat mendekatkan seseorang dalam siksaan api
neraka. Dari beberapa jenis akhlaq kita terhadap orang lain, yang perlu
diperhatikan adalah akhlaq terhadap tetangga.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)
Dari Abu Syuraih ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
“Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya:
“Siapa itu Ya Rasulullah?” Jawab Nabi:
“Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)
Dari hadits tersebut, peringatan Allah sangat keras sampai diulangi
tiga kali yaitu tidak termasuk golongan orang beriman bagi tetangganya
yang tidak aman dari gangguannya. Maka terkadang kita perlu instropeksi
dengan menanyakan kepada tetangga apakah kita mengganggu mereka.
Wallahua’lam bish showab.
Aturan untuk shoum di bulan Ramadhan telah ditetapkan Allah SWT dalam surat Al Baqarah dari ayat 183 sampai ayat 187. Hampir seluruh ayat tersebut terdapat kata-kata shoum:
- (Al Baqarah 183)
- (Al Baqarah 184)
- (Al Baqarah 185)
- (Al Baqarah 187)
Hanya ayat 186 yang tidak mengandung kata shoum:
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka
selalu berada dalam kebenaran.”
Peletakan
ayat ini diantara ayat-ayat tentang shoum Ramadhan bukan tanpa maksud.
Kalau ditilik dari asbabun nuzul ayat ini adalah berkenaan dengan
datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi SAW yang bertanya: “Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat munajat/memohon kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus menyeru-Nya?”
Nabi SAW terdiam, hingga turunlah ayat ini. (Diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduwaih, Abussyaikh dan lain-lain).
Menurut riwayat lain, ayat ini turun berkenaan dengan sabda Rasulullah SAW: “Janganlah
kalian berkecil hati dalam berdoa, karena Allah SWT telah berfirman
‘Ud’uni astajib lakum’ (berdoalah kamu kepada-Ku, pasti aku
mengijabahnya)” (QS 40:60). Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan mendengar doa kita atau bagaimana?” Sebagai jawabannya, turunlah ayat ini (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir yang bersumber dari Ali.)
Menurut
Sayyid Qutb dalam kitabnya Fii Zhilalil Quran, Allah menjawab langsung
tentang keberadaanNya yang sangat dekat dan langsung berfirman bahwa Dia
akan mengabulkan segala doa kita. Dalam ayat ini juga terdapat tiga
syarat untuk diterimanya suatu doa. Pertama, doa tersebut harus
dipanjatkan kepada-Nya secara langsung. Jadi janganlah kita berdoa
kepada mahluk Allah seperti jin, makam atau pohon. Dan kalaupun berdoa
akan lebih baik apabila doa tersebut diucapkan secara langsung
kepada-Nya. Syarat kedua dalam berdoa adalah kita harus memenuhi segala
perintah Allah SWT. Seperti ketika seorang anak sebaiknya mengikuti
nasehat/perintah orang tuanya untuk mendapatkan yang diinginkannya.
Sedang syarat ketiga adalah kita harus beriman kepada-Nya agar doa kita
diterima.
Walaupun
ayat 186 ini tidak mengandung kata shoum, tapi penempatan ayat ini
menunjukkan pentingnya kita berdoa pada bulan Ramadhan. Hal ini sesuai
dengan hadits nabi SAW:
“Orang yang berpuasa memiliki doa yang mustajab pada waktu berbuka.” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud)
Atau dalam hadits lain, nabi SAW bersabda:
“Ada
tiga orang yang tidak akan ditolak doanya yaitu pemimpin yang adil,
orang yang berpuasa sehingga dia berbuka dan orang yang dianiaya. Doa
mereka diangkat oleh Allah di bawah awan pada hari kiamat dan dibukakan
untuknya pintu-pintu langit dan Allah berfirman, ‘Demi keagungan-Ku, Aku
akan menolongmu walaupun sesudah suatu waktu’” (Riwayat Imam Ahmad, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Demikianlah,
urgensi dari berdoa dalam bulan Ramadhan karena hal itu meningkatkan
kemungkinan doa kita diterima. Maka perbanyaklah kita berdoa dalam bulan
Ramadhan. Semoga Allah SWT menerima doa kita.
Wallahua’lam bish showab.
Dalam suatu hadits qudsi, Allah SWT berfirman “Jikalau
seseorang hamba itu mendekat padaKu sejengkal, maka Aku mendekat
padanya sehasta dan jikalau ia mendekal padaKu sehasta, maka Aku
mendekat padanya sedepa. Jikalau hamba itu mendatangi Aku dengan
berjalan, maka Aku mendatanginya dengan bergegas.” (HR. Bukhari)
Didalam
melihat jalan hidup masyarakat di sekitar kita, bisa kita lihat bahwa
beberapa orang mempunyai kecenderungan tertentu. Orang yang terbiasa
berbuat maksiyat, maka dari hari kehari dia akan semakin terjerumus
kedalam lembah yang hitam. Sebaliknya orang yang suka sholat berjamaah
ke masjid, maka dia akan ramah ke tetangganya, rutin berinfaq dan
bahagia kehidupan keluarganya.
Semakin
seseorang memperbanyak dan membiasakan berbuat baik, maka semakin
banyak terbuka pintu-pintu kebaikan yang lain. Hal ini sesuai dengan
hadits qudsi diatas bahwa semakin tinggi intensitas dan kualitas ibadah
kita kepada Allah SWT maka semakin dekatlah kita dengan-Nya.
Salah
satu kunci kesuksesan hidup kita adalah bagaimana kita membiasakan
berbuat baik. Semakin kita terbiasa berbuat baik, maka semakin mudah
jalan kita untuk mencapai kebahagiaan hidup. Agar manusia terbiasa
beribadah, maka beberapa ibadah dilakukan berulang dalam kurun waktu
tertentu seperti sholat lima kali dalam sehari, puasa sunnah dua kali seminggu dan sholat jum’at sekali sepekan.
Permasalahan
awal yang biasanya ditemukan dalam melakukan sesuatu yaitu dalam
memulainya. Memulai suatu aktifitas terkadang lebih berat dibandingkan
ketika melaksanakannya. Maka ketika kita mendorong mobil yang mogok,
akan diperlukan tenaga yang besar saat sebelum mobil bergerak. Setelah
mobil tersesebut bergerak, diperlukan daya dorong yang kecil. Ada juga
sifat kita yang menunda perbuatan baik, padahal perbuakan baik janganlah
ditunda. Kalau kita ada keinginan untuk menunda, maka tundalah untuk
menunda. Hal ini seperti yang disampaikan Rasulullah saw:
“Bersegeralah
untuk beramal, jangan menundanya hingga datang tujuh perkara. Apakah
akan terus kamu tunda untuk beramal kecuali jika sudah datang:
kemiskinan yang membuatmu lupa, kekayaan yang membuatmu berbuat melebihi
batas, sakit yang merusakmu, usia lanjut yang membuatmu pikun, kematian
yang tiba-tiba menjemputmu, dajjal, suatu perkara gaib terburuk yang
ditunggu, saat kiamat, saat bencana yang lebih dahsyat dan siksanya yang
amat pedih.” (HR. Tirmidzi)
Salah satu cara
untuk mempermudah kita dalam memulai suatu amal ibadah adalah dengan
mengetahui akan besarnya manfaat yang akan dirasakan. Segala hambatan
atau godaan untuk tidak melaksanakan kebaikan tersebut akan
bisa dilewatkan dengan keyakinan yang kuat. Oleh sebab itu, kita wajib
untuk mencari ilmu tentang fadhilah (kelebihan) dari suatu amalan atau
ibadah. Bahkan untuk menguatkan hati, kita juga perlu mencari ilmu
secara berulang kali. Bahkan beberapa pengulangan dalam Al Quran
digunakan agar manusia semakin ingat.
“Dan
sesungguhnya dalam Al Quran ini Kami telah ulang-ulangi
(peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan
peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari.” (QS. Al Israa’ 41)
Jadi,
mulailah perbuatan baik yang ingin anda lakukan sekarang dan jangan
ditunda. Kalau belum yakin, perluas dan perdalam ilmu agar kita semakin
yakin.
Wallahu a’lam bish showab.
Karena taku didatangi pencuri, maka warga suatu perumahan menyewa
penjaga atau hansip. Tetapi terkadang pencurian masih terjadi walau
hansip sudah dibayar. Hal ini bisa terjadi bila hansip tersebut lengah
atau ketiduran, sehingga si pencuri bisa melakukan aksinya. Hansip juga
manusia!
Bagaimana dengan Yang Maha Mengetahui? Allah SWT mengawasi manusia 24
jam sehari atau setiap detik tidak ada lengah. Didalam melakukan
pengawasan, ada 3 cara yang dilakukan Allah SWT:
1
Allah SWT melakukan pengawasan secara langsung. Tidak
tanggung-tanggung, Yang Menciptakan kita selalu bersama dengan kita
dimanapun dan kapanpun saja. Bila kita bertiga, maka Dia yang keempat.
Bila kita berlima, maka Dia yang keenam (QS. Al Mujadilah 7). Bahkan
Allah SWT teramat dekat dengan kita yaitu lebih dekat dari urat leher
kita.
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf 16)
2
Allah SWT melakukan pengawasan melalui malaikat.
“ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk
di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf 17)
Kedua malaikat ini akan mencatat segala amal perbuatan kita yang baik
maupun yang buruk; yang besar maupun yang kecil. Tidak ada yang
tertinggal. Catatan tersebut kemudian dibukukan dan diserahkan kepada
kita (QS. Al Kahfi 49).
Allah SWT melakukan pengawasan melalui diri kita sendiri. Ketika
kelak nanti meninggal maka anggota tubuh kita seperti tangan dan kaki
akan menjadi saksi bagi kita. Kita tidak akan memiliki kontrol terhadap
anggota tubuh tersebut untuk memberikan kesaksian sebenarnya.
3
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami
tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang
dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasiin 65)
Kesimpulannya, kita hidup tidak akan bisa terlepas dimanapun dan
kapanpun saja dari pengawasan Allah SWT. Tidak ada waktu untuk berbuat
maksiyat. Tidak ada tempat untuk mengingkari Allah SWT. Yakinlah bahwa
perbuatan sekecil apapun akan tercatat dan akan dipertanyakan oleh Allah
SWT dihari perhitungan kelak.
Wallahu a’lam bish showab.
Posted by: Gatot Pramono on: November 2, 2007
“… kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap
orang mu’min dan bersikap tegas kepada orang kafir, yang berjihad di
jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela
….” (QS Al-Maidah: 54)
Rasulullah saw yang telah membawa perubahan superbesar dalam sejarah
kehidupan manusia memulai masa kenabiannya di usia 40 tahun. Dan hanya
dalam 23 tahun masa kenabiannya, beliau mampu membangun dasar peradaban
rabbani, yang menjunjung tinggi aspek superioritas hukum Islam,
keseimbangan peran dan kewajiban antarkomponen masyarakat.
Ketika ada pertanyaan bagaimana bisa dalam waktu sesingkat itu dapat
terbangun sebuah sistem yang mengalami masa kejayaan selama
berabad-abad, maka jawaban yang paling tepat adalah karena Rasulullah
menggunakan sistem ilahiyah dalam membangun peradabannya. Sistem yang
mengacu kepada kitabullah. Sistem ini integral dan komprehensif serta
mampu memecahkan seluruh persoalan hidup manusia.
Menurut Dr Ali Abdul Halim Mahmud setidaknya ada 2 pilar pokok yang
harus dibangun ketika kita ingin membangun (kembali) sebuah peradaban
rabbani. Pertama adalah pilar tarbawi (pembinaan dan pendidikan), berupa
pola belajar-mengajar, dengan ragam perangkatnya dengan tujuan untuk
menyempurnakan potensi pribadi. Kemudian yang kedua, yaitu pilar
tanzhimi (institusional) berupa pembangunan institusi internal
masyarakat yang mengatur kode etik dalam kehidupan bermasyarakat, dan
institusi eksternal yang mengatur kekuasaan dan hubungan antarbangsa.
Perubahan peradaban ini bisa dimulai. Caranya dengan membangun
kepribadian individu Muslim dengan Islam pada seluruh aspek kehidupan.
Kemudian pembentukan keluarga-keluarga shalihah dengan seluruh nilai dan
moralitasnya. Akhirnya akan terbentuk sistem masyarakat dengan seluruh
interaksi sosial dan pengaturannya yang dinaungi dalam wadah institusi
yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyah.
Muaranya adalah perubahan peradaban. Perubahan yang berakar pada
tegaknya sistem nilai yang mengacu pada nilai-nilai transendental dan
ilahiyah. Peradaban yang di dalamnya terbentuk struktur kemasyarakatan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran ilahi.
7 Indikator Kebahagiaan Dunia
Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten
dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara
khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas
telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia
ditanya oleh para Tabi'in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW)
mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia.
Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki
jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona'ah), sehingga
tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi
hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah
cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan
Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.
Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu :
"Kalau
kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita". Bila
sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal
ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang
lebih besar lagi. Bila ia tetap "bandel" dengan terus bersyukur maka
Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.
Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.
Pasangan
hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang
sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan
diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada
kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang
sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya
menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh,
akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani
suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah
menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.
Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.
Saat
Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak
muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW
bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu ?" Jawab anak muda
itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang
sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan
dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat,
atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya".
Lalu anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk
kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?"
Nabi SAW sambil
memeluk anak muda itu dan mengatakan: "Sungguh Allah ridho kepadamu,
kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta
orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu". Dari hadist tersebut kita
mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk
membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa
memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh
kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila
memiliki anak yang sholeh.
Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.
Yang
dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal
siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah
orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam
sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul
dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu
mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.
Orang-orang
sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat
Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya
tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.
Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.
Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma
dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya.
Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam
riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu
dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. "Kamu berdoa sudah
bagus", kata Nabi SAW, "Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan
tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan".
Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat
mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari
hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi
ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu
dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.
Semangat
memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama
Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar
lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.
Allah
menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar
semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah
dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.
Semangat
memahami agama akan meng "hidup" kan hatinya, hati yang "hidup" adalah
hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka
berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.
Umur
yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang
setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi
hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi
dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun
cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu
pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka
iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia
sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan
yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak
mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua
semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya
diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa
takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk
segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang
dijanjikan Allah. Inilah semangat "hidup" orang-orang yang baroqah
umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.
Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana
caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator
kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki
diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu'
mungkin membaca doa `sapu jagat' , yaitu doa yang paling sering dibaca
oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama doa tersebut "Rabbanaa aatina
fid dun-yaa hasanaw" (yang artinya "Ya Allah karuniakanlah aku
kebahagiaan dunia "), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada
Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas
ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang
soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal,
semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.
Walaupun
kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman
kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut
kita syukuri.
Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat
tersebut yaitu "wa fil aakhirati hasanaw" (yang artinya "dan juga
kebahagiaan akhirat"), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah.
Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang
Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk
surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.
Amal
soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa
dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga.
Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita
tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.
Kata
Nabi SAW, "Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian
ke surga". Lalu para sahabat bertanya: "Bagaimana dengan Engkau ya
Rasulullah ?". Jawab Rasulullah SAW : "Amal soleh saya pun juga tidak
cukup". Lalu para sahabat kembali bertanya : "Kalau begitu dengan apa
kita masuk surga?". Nabi SAW kembali menjawab : "Kita dapat masuk surga
hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata".
Jadi sholat
kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga
tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita
mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).
Posted by: Gatot Pramono on: Desember 13, 2007
Kita sebagai orang yang memeluk agama Islam tidak boleh berpuas diri
dengan predikat seorang Muslim. Karena keislaman seseorang tidak cukup
untuk dapat menurunkan pertolongan Allah dalam kehidupan kita di dunia.
Keislaman juga belum tentu bisa menyelamatkan kita dari siksa api
neraka. Hanya orang-orang yang beriman sejati yang mendapatkan semua
janji2Nya yaitu kebahagian dunia dan akhirat.
Bagaimanakah kriteria atau ciri-ciri orang-orang beriman yang sering
dipanggil Allah dengan mesra “…yaa ayyuhal ladzina aamanu…..” ? Allah
yang Maha Pengasih telah menyebutkan di dalam Al Quran surat Al Anfal
:2-4
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki
(nikmat) yang mulia.
Dalam firman Allah SWT tersebut jelas sekali menyebutkan bahwa
seorang mukmin yang Haq, yang benar-benar tulen, mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut>
1. Hatinya yang gemetar hatinya bila disebutkan Asma Allah
Gemetarnya bisa disebabkan karena banyak hal, karena kagum dan takluk
pada Kebesaran Allah. Kebesaran dan Kemuliaan Dzat , Sifat maupun
PerbuatanNya. Bisa juga karena takut terhadap siksa api neraka yang
sangat pedih dan terbayangkan dosa dan kebodohan yang telah dilakukan.
Bisa juga gemetar karena berharap karunia surga – dunia maupun akhirat-.
Terkadang gemetar haru mengingat sifat Kasih Sayang dan PengampunNya
ataupun gemetar hati karena melihat Kebesaran ciptaanNya.
Asma Allah yang disebutkan dalam Al Quran dan hadits biasa disebut
dengan 99 Asmaul Husna (bahkan lebih dari itu) menunjukkan Sifat-Sifat
Allah yang Agung yang wajib kita ketahui, fahami dan hayati maknanya.
Pemahaman atas makna dan tafakkur pada ciptaan2Nya dan Kebesaran
Asma-asma Allah itulah yang dapat menghantarkan seseorang pada “wajilat
quluubukum”
2. Keimanannya bertambah bila dibacakan ayat-ayat Tuhan
Ayat dalam bahasa Arab artinya bukti. Orang-orang yang imannya tulen
bila dihadapannnya dibacakan ayat Al Quran (dalil naqli) ataupun bukti
aqli yang berupa demonstrasi Kebesaran Allah dalam penciptaan
makhluk-makhlukNya maka bibirnyapun berucap “ Subhanallah…”. Bila
membaca Al Quran yang menyebutkan tentang janji-janji Allah keimanannya
bertambah, semangat hidupnya makin membara dan semakin giat beramal
shalih.
Dan bila dia melihat Kebesaran Allah dalam penciptaan langit , buni dan
jagad raya alam semesta maka diapun makin tunduk dan kagum pada Kuasa
Allah. Bahkan ketika melihat betapa sempurna dan hebatnya
pasukan-pasukan Allah yang berupa misalnya lebah lebah dan madu yang
dihasilkan, maka diapun makin yakin dan kagum pada Allah.
Hari-hari orang beriman tidak pernah ada yang menjemukan. Setiap detik
yang dilalui dipakai untuk “melihat” demonstrasi Kekuasaan Allah,
bertafakkur dan kemudian bertasbih kepada Allah. Dan itu semua makin
meningkatkan imannya.
3. Bertawakkal hanya kepada Allah
Bagi orang yang imannya Haq, tidak pernah ada rasa takut dan gentar
menghadapi pernak-pernik dan badai di dalam kehidupan dunia.
Ketergantungannya kepada Allah dan keyakinan bahwa Allah selalu menuntun
dan melindunginya menjadikan langkahnya pasti menapaki roda kehidupan.
…. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah
Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Putus asa tidak ada dalam kamus hidupnya. Hidup dijalani dengan
lapang dan mudah karena jalan keluar dalam tiap masalah, insya Allah
ada. Dan rezeki juga sudah ditanggung oleh Allah Azza wa Jalla.
4. Mendirikan Shalat
Mereka ini adalah orang-orang yang gandrung shalat. Shalat menjadi obat
segala masalah kehidupan. Persis seperti yang disabdakan junjungan kita
Rasulullah SAW :
Apabila engkau mempunyai masalah maka shalat (sunnah) lah 2 rakaat” (HR Bukhari)
Mereka ini bukan sekedar melakukan shalat tapi mendirikannya.
Menjaga rukun-rukunnya, waktunya, sunnah-sunnahnya dan juga
kekhusyuannya. Shalat merupakan saat-saat yang indah bermunajat kepada
Allah, mengadukan beban hidup, memohonkan kemudahan hidup di dunia dan
juga kemuliaan hidup di akhirat. Shalat tidaklah menjadi beban bagi
mereka bahkan shalat merupakan saat beristirahat dari keruwetan hidup.
Dan tepatlah sabda Rasulullah saat menyuruh Bilal adzan dengan berkata :
“Wahai Bilal, berilah istirahat kepada kita semua!”
Dan bukti mereka mendirikan shalat adalah akhlaknya di luar shalat.
Mengapa ? Karena shalat itulah yang menghalangi mereka berbuat maksiat
dan mungkar. Semakin baik mutu shalat maka semakin tinggilah akhlak
seseorang
5. Menafkahkan rezeki yang dipunyai
Ciri terakhir seorang mukmin yang tulen adalah mudahnya dia
bersedekah. Baginya harta karunia Allah yang didalamnya ada hak fakir
miskin. Sedekah adalah tanda syukur kepada Allah kerena diberi
kelapangan dalam harta. Tapi dia juga bersedekah dalam keadaan sempit
karena jalan kemudahan akan datang dengan derasnya sedekah. Hati orang
yang mukmin tidak terikat oleh harta yang dimiliki. Harta diletakkannya
di tangan bukan di hati
Demikianlah ciri-ciri seorang mukmin yang Haq, yang tulen. Dan mukmin
sejati inilah yang mendapatkan janji Allah yaitu kemuliaan derajat,
pengampunan dosa-dosa dan rezeki yang halal dan berkah.
Semoga bahasan ini bisa menjadi jalan intropeksi bagi diri kita
masing-masing. Apakah kita sudah mempunyai 5 ciri-ciri di atas ? Bila
sudah, kita harus mensyukuri dan meminta Allah mengekalkan sifat-sifat
mulia ini dalam diri kita. Bila kita belum memiliki 5 ciri ini maka kita
perlu berusaha semaksimal mungkin agar kita bisa menjadi seorang mukmin
sejati, yang dicintai Allahu Rabbi.
KEKUASAAN ADALAH AMANAT DARI ALLAH
Kemerdekaan mempunyai makna yang luas, artinya bahwa bangsa Indonesia
memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri berbagai, segi kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk kehidupan politik, ekonomi, sosial dan
sebagainya. Kalau pada masa penjajahan belanda umat Islam diatur oleh
bangsa lain, sejak tahun 1945, semua diatur oleh umat Islam sendiri
dengan leluasa. Tak ada lagi pembatasan untuk mengamalkan apa yang
diyakini dalam hati.
Bagi umat Islam, apa makna kemerdekaan
ditinjau dari sudut syariat? Kemerdekaan adalah salah satu nikmat yang
diberikan Allah SWT. Nikmat itu hendaklah dipandang sebagai suatu amanat
atau titipan dari Allah SWT kepada kita. karena itu Al-Qur'an dalam
surat An-Nisa ayat 58 mengingatkan:
"Allah memerintahkan kamu
menyampaikan amanat kepada yang layak menerimanya. Apabila kamu
mengadili diantara manusia, bertindaklah dengan adil, Sungguh Allah
mengajar kamu dengan sebaik-baiknya, karena Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat"
Kalau ada diantara kita yang memegang amanat, dalam
bentuk kekuasaan, atau kewenangan; apakah sebagai lurah,camat, bupati,
gubernur, atau jabatan lain, maka semua itu hakikatnya memegang amanah
yang harus disampaikan kepada yang berhak.
Dalam arti yang lebih
luas, kemerdekaan itu amanah yang diberikan Allah sebagai karunia-Nya
kepada segenap manusia sebagai individu dn sebagai warga negara RI.
Karena itu, adalah menjadi kewajiban untuk memelihara kemerdekaan ini
dengan cara sebaik-baiknya. Dengan demikian, inilah makna kita pandai
menyukuri nikmat dari Allah dalam bentuk kemerdekaan. Dalam Al-Qur'an
surat Ibrahim ayat 7 disebutkan:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu
memaklumkan: "Jika kamu bersyukur, Aku akan memberi tambahan (karunia)
kepadamu; tetapi jika kamu tidak bersyukur, sungguh adzab-Ku dasyat
sekali"
Maksud ayat diatas, memerintahkan manusia agar pandai
menyukuri nikmat Allah; antara lain nikma0t kemerdekaan. Artinya
mensyukuri nikmat disini bukan hanya mengucapkan lafadh 'alhamdulillah'
seperti biasa diucapkan, tapi harus menggunakan nikmat itu sesuai
perintah-Nya. Kemerdekaan harus digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup bangsa Indonesia baik spirritual maupun material.
Sebagai
disebutkan dalam ayat tadi, arti kufur nikamt dapat dipahami; orang
yang mendapat karunia Allah, tapi menggunakn nikmat itu tidak sesuai
dengan jalan yang diperintahkan-Nya. Dengan kata lain, telah menyimpang
dari ajaran Allah SWT, atau menyalahgunakan nikmat.
Peran umat
Islam dalam bernegara adalah menjalankan prinsip-prinsip yang dijalankan
Al-Qur'an, yaitu prinsip Islam dalam bermasyarakat dan bernegara.
Prinsip-prinsip tersebut dapat disimak dalam surat An-Nisa ayat 59:
"Hai
orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka
yang memegang kekuasaan diantara kamu. Jika kamu berselisih mengenai
sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosul-Nya, kalau kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian
yang tepat."
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada
Allah," yaitu menjalankan perintah Allah yang telah diwahyukan-Nya
melalui Al-qur'an. "Taatlah pula kepada Rosulullah saw, yang telah
membimbing kita melalui ajaran-ajaranya", yang disebut sunah Rosulullah,
adalah yang merupakan penjelasan terhadap Al-Qur'an. "Dan kepada
orang-orang yang berwenang di antara kamu", artinya umat Islam wajib
taat kepada kalangan kita yang kebetulan memegang otoritas baik dalam
bidang pemerintahan maupun dalam bidang lain.
Tetapi prinsip
ketaatan dalam Islam ini bersifat tanpa reserve. Artinya, pemimpin itu
harus ditaati hanya selama dia menjalankan perintah Allah. Kalau dalam
menjalankan kekuasaanya tidak cocok dengan perintah Allah dan Rosul-Nya,
tidk ada keharusan untuk taat kepadanya. Dalam haditsnya, Rasulullah
bersabda: "Sesungguhnya ketaatan itu dalam hal-hal yamg ma'ruf (baik)".
Kalau
kita diminta, baik langsung ataupun tidak langsung untuk bersikap taat
dalam hal-hal yang munkarat, maka tidak harus menaatinya. Bahkan wajib
melawnya, sebagai bukti penentangan.
Kecuali hal di atas, tugas
umat Islam sangat penting adalah mengentaskan kemiskinan, terutama
dikalangan umat Islam sendiri. Ajaran Islam telah menawarkan berbagai
konsep pengentasan kemiskinan dan konsep itu saya namakan
lembaga-lembaga sosial Islam. Yang sudah dikenal adalah: zakat, infaq,
shodaqoh, wakaf, wasiat, qurban dan aqiqah. Semua lembaga itu
mengajarkan agar seluruh umat Islam berperan serta mengentaskan
kemiskinan, Salah satu pesan Al-Qur'an surat Adz-Dzariyat ayat 19: "Dan
dlam harta mereka (selalu ingat) akan hak (orang miskin) yang meminta,
dan yang (karena suatu alasan) tak mau meminta".
Jadi inilah
yang dimaksud Zakat. Zakat sebenarnya adalah hak bagi orang miskin.
Kemudian infaq dan shodaqoh, dan sebagainya adalh merupakan hal yang
sangat dianjurkan. Itulah beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagi
perwujudan sikap syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan nikmat
yang tiada ternilai harganya untuk umat Islam Indonesia, yaitu
kemerdekaan.
MENGAPA HATI KERAS MEMBATU ?
Hati adalah sumber penalaran, tempat pertimbangan, tumbuhnya cinta dan
benci, keimanan dan kekufuran, taubat dan keras kepala, ketenangan dan
kegoncangan.
Hati juga sumber kebahagiaan, jika kita mampu
membersihkannya, namun sebaliknya merupakan sumber bencana jika
menodainya. Aktivitas badan sangat tergantung lurus bengkoknya hati. Abu
Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, "Hati adalah raja, sedangkan
anggota badan adalah tentara. Jika raja itu bagus, maka akan bagus pula
tentaranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tentaranya."
Tanda-Tanda Kerasnya Hati
Hati yang keras memiliki tanda-tanda yang bisa dikenali, di antara yang terpenting sebagai berikut :
1.Malas Melakukan Kataatan dan Amal Kebaikan
Terutama
malas untuk menjalankan ibadah, bahkan mungkin meremehkan nya,
melakukan shalat asal-asalan tanpa ada kekhusyukan dan kesungguhan,
merasa berat dan enggan, merasa berat pula menjalankan ibadah-ibadah
sunnah. Allah telah menyifati kaum munafiqin. Firman-Nya, artinya,
"Dan
mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak
(pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan."
(At-Taubah : 54)
2. Tidak Tersentuh Oleh Ayat Al-Qur'an dan Petuah
Ketika
disampaikan ayat-ayat yang berkenaan dengan janji dan ancaman Allah,
maka tidak terpengaruh sama sekali, tidak mau khusyu' atau tunduk, dan
juga lalai dari membaca al-Qur'an serta mendengarkannya, bahkan enggan
dan berpaling darinya. Sedang kan Allah Subhannahu wa Ta'ala telah
memperingatkan, artinya,
"Maka beri peringatanlah dengan al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku." (Qaaf : 45)
3. Tidak Tersentuh dengan Ayat Kauniyah
Tidak
tergerak dengan adanya peristiwa-peristiwa yang dapat memberikan
pelajaran, seperti kematian, sakit, bencana dan semisalnya. Dia
memandang kematian atau orang yang sedang diusung ke kubur sebagai
sesuatu yang tidak ada apa-apanya, padahal cukuplah kematian itu sebagai
nasihat.
"Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan
bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka
tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?" (At-Taubah
:126)
4. Berlebihan Mencintai Dunia dan Melupakan Akhirat
Himmah
dan segala keinginannya tertumpu untuk urusan dunia semata. Segala
sesuatu ditimbang dari sisi dunia dan materi. Cinta, benci dan hubungan
dengan sesama manusia hanya untuk urusan dunia saja. Ujungnya, jadilah
dia seorang yang dengki, egois dan individualis, bakhil dan tamak
terhadap dunia.
5. Kurang Mengagungkan Allah.
Sehingga
hilang rasa cemburu dalam hati, kekuatan iman melemah, tidak marah
ketika larangan Allah diterjang, serta tidak mengingkari kemungkaran.
Tidak mengenal yang ma'ruf serta tidak peduli terhadap segala
kemaksiatan dan dosa.
6. Kegersangan Hati
Kesempitan
dada, mengalami kegoncangan, tidak pernah merasakan ketenangan dan
kedamaian sama sekali. Hatinya gersang terus-menerus dan selalu gundah
terhadap segala sesuatu.
7. Kemaksiatan Berantai
Termasuk
fenomena kerasnya hati adalah lahirnya kemaksiatan baru akibat dari
kemaksiatan yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga menjadi sebuah
lingkaran setan yang sangat sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri.
Sebab-Sebab Kerasnya Hati
Di antara faktor kerasnya hati, yang penting untuk kita ketahui yakni:
1. Ketergantungan Hati kepada Dunia serta Melupakan Akhirat
Kalau
hati sudah keterlaluan mencintai dunia melebihi akhirat, maka hati
tergantung terhadapnya, sehingga lambat laun keimanan menjadi lemah dan
akhirnya merasa berat untuk menjalankan ibadah. Kesenangannya hanya
kepada urusan dunia belaka, akhirat terabaikan dan bahkan ter-lupakan.
Hatinya lalai mengingat maut, maka jadilah dia orang yang panjang
angan-angan.
Seorang salaf berkata, "Tidak ada seorang hamba,
kecuali dia mempunyai dua mata di wajahnya untuk memandang seluruh
urusan dunia, dan mempunyai dua mata di hati untuk melihat seluruh
perkara akhirat. Jika Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka Dia
membuka kedua mata hatinya dan jika Dia menghendaki selain itu
(keburukan), maka dia biarkan si hamba sedemikian rupa (tidak mampu
melihat dengan mata hati), lalu dia membaca ayat, "Maka apakah mereka
tidak memperhatikan al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci." (Muhammad :
24)
2. Lalai
Lalai merupakan penyakit yang berbahaya
apabila telah menjalar di dalam hati dan bersarang di dalam jiwa. Karena
akan berakibat anggota badan saling mendukung untuk menutup pintu
hidayah, sehingga hati akhirnya menjadi terkunci. Allah berfirman,
"Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya
telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itu lah orang-orang yang
lalai" (QS.16:108)
Allah Subhannahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa
orang yang lalai adalah mereka yang memiliki hati keras membatu, tidak
mau lembut dan lunak, tidak mempan dengan berbagai nasehat. Dia bagai
batu atau bahkan lebih keras lagi, karena mereka punya mata, namun tak
mampu melihat kebenaran dan hakikat setiap perkara. Tidak mampu
membedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan. Mereka juga memiliki
telinga, namun hanya digunakan untuk mendengarkan berbagai bentuk
kebatilan, kedustaan dan kesia-siaan. Tidak pernah digunakan untuk
mendengarkan al-haq dari Kitabullah dan Sunnah Rasul Shalallaahu alaihi
wasalam (Periksa QS. Al A'raf 179)
3. Kawan yang Buruk
Ini
juga merupakan salah satu sebab terbesar yang mempengaruhi kerasnya
hati seseorang. Orang yang hidupnya di tengah gelombang kemaksiatan dan
kemungkaran, bergaul dengan manusia yang banyak berku-bang dalam dosa,
banyak bergurau dan tertawa tanpa batas, banyak mendengar musik dan
menghabiskan hari-harinya untuk film, maka sangat memungkinkan akan
terpengaruh oleh kondisi tersebut.
4. Terbiasa dengan Kemaksiatan dan Kemungkaran
Dosa
merupakan penghalang seseorang untuk sampai kepada Allah. Ia merupakan
pembegal perjalanan menuju kepada-Nya serta membalikkan arah perjalanan
yang lurus.
Kemaksiatan meskipun kecil, terkadang memicu terjadinya
bentuk kemaksiatan lain yang lebih besar dari yang pertama, sehingga
semakin hari semakin bertumpuk tanpa terasa. Dianggapnya hal itu
biasa-biasa saja, padahal satu persatu kemaksiatan tersebut masuk ke
dalam hati, sehingga menjadi sebuah ketergantungan yang amat berat untuk
dilepaskan. Maka melemahlah kebesaran dan keagungan Allah di dalam
hati, dan melemah pula jalannya hati menuju Allah dan kampung akhirat,
sehingga menjadi terhalang dan bahkan terhenti tak mampu lagi bergerak
menuju Allah.
5. Melupakan Maut, Sakarat, Kubur dan Kedahsyatannya.
Termasuk
seluruh perkara akhirat baik berupa adzab, nikmat, timbangan amal,
mahsyar, shirath, Surga dan Neraka, semua telah hilang dari ingatan dan
hatinya.
6. Melakukan Perusak Hati
Yang merusak hati
sebagaimana dikatakan Imam Ibnul Qayyim ada lima perkara, yaitu banyak
bergaul dengan sembarang orang, panjang angan-angan, bergantung kepada
selain Allah, berlebihan makan dan berlebihan tidur.
Solusi
Hati
yang lembut dan lunak merupakan nikmat Allah yang sangat besar, karena
dia mampu menerima dan menyerap segala yang datang dari Allah. Allah
mengancam orang yang berhati keras melalui firman-Nya,
"Maka
kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk
mengingat Allah.Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Az-Zumar: 22)
Di
antara hal-hal yang dapat membantu menghilangkan kerasnya hati dan
menjadikannya lunak, lembut dan terbuka untuk menerima kebenaran dari
Allah yakni:
1. Ma'rifat (mengenal) Allah
Siapa yang
kenal Allah, maka hatinya pasti akan lunak dan lembut, dan siapa yang
jahil terhadap-Nya, maka akan keras hatinya. Semakin bodoh seseorang
terhadap Allah, maka akan semakin berani melanggar batasan-Nya. Dan
semakin seseorang berfikir tentang Allah, maka semakin sadar akan
kebesaran Allah, keluasan nikmat serta kekuasaan Nya.
2. Mengingat Maut
Pertanyaan
kubur, kegelapannya, sempit dan sepinya, juga penderitaan menjelang
sakaratul maut termasuk ke dalam mengingat maut. Memperhatikan pula
orang-orang yang telah mendekati kematian dan menghadiri jenazah. Hal
itu dapat membangunkan ketertiduran hati kita, dan mengingatkan dari
keterlenaan. Sa'id bin Jubair berkata, "Seandainya mengingat mati lepas
dari hatiku, maka aku takut kalau akan merusak hatiku."
3. Berziarah Kubur dan Memikirkan Penghuninya.
Bagaimana
mereka yang telah ditimbun tanah, bagaimana mereka dulu makan, minum
dan berpakaian dan kini telah hancur di dalam kubur, mereka tinggalkan
segala yang dimiliki, harta, kekuasaan maupun keluarga, lalu ingat dan
berfikir, bahwa sebentar lagi dia juga akan mengalami hal yang sama.
4. Memperhatikan Ayat-ayat Al- Qur'an.
Memikirkan
ancaman dan janjinya, perintah dan larangannya. Karena dengan
memikirkan kandungannya, maka hati akan tunduk, iman akan bergerak
mendorong untuk berjalan menuju Rabbnya, hati menjadi lunak dan takut
kepada Allah.
5. Mengingat Akhirat dan Kiamat
Huru-hara
dan kedahsyatannya, Surga dengan kenimatannya, neraka dengan
penderitaannya yang disediakan bagi para pelaku dosa dan kemaksiatan.
6. Memperbanyak Dzikir dan Istighfar
Dzikir
dapat melunakan hati yang keras. Karena itu selayaknya seorang hamba
mengobati hatinya dengan berdzikir kepada Allah, sebab ketika kelalaian
bertambah, maka kekerasan hati makin memuncak pula.
7. Mendatangi Orang Shalih dan Bergaul dengen Mereka.
Orang
shaleh akan memberikan semangat ketika kita lemah, mengingatkan ketika
lupa, dan memberikan jalan ketika kita bingung dan pertemuan dengan
mereka akan membantu kita dalam melakukan ketaatan kepada Allah
8. Berjuang, Introspeksi dan Melihat Kekurangan Diri.
Manusia,
jika tidak mau berjuang, introspeksi dan melihat kekurangan diri, maka
dia tidak tahu, bahwa dirinya sakit dan banyak kekurangan. Jika dia
tidak merasa sakit atau punya kekurangan, maka bagaimana mungkin dia
akan memperbaiki diri atau berobat?
Wallahu a'lam, semoga Allah
Subhannahu wa Ta'ala melunakkan hati kita semua untuk menerima dan
menjalankan kebenaran, amin ya Rabbal 'alamin.
Sumber : Kutaib "Limadza Taqsu Qulubuna" Al-Qism al-Ilmi Darul Wathan.